PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren

Berikut ini adalah berkas PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren. Download file format PDF.

PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren
PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren

PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren

Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren:

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2020
TENTANG
PENDIDIKAN PESANTREN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3), Pasal 20 ayat (3), Pasal  24, Pasal 28 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang Pendidikan Pesantren;

Mengingat:
  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6406);
  4. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 168); 
  5. Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1495);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG PENDIDIKAN PESANTREN.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Pondok Pesantren, Dayah, Surau, Meunasah, atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, orgamsasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan muallimin.
  3. Kitab Kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di Pesantren.
  4. Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin adalah kumpulan kajian tentang ilmu agama Islam yang terstruktur, sistematis, dan terorganisasi.
  5. Pengkajian Kitab Kuning adalah Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan nonformal yang menjadikan Kitab Kuning sebagai rujukan utama dalam pembelajaran.
  6. Pendidikan Muadalah adalah Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin secara berjenjang dan terstruktur.
  7. Pendidikan Diniyah Formal adalah Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
  8. Ma'had Aly adalah Pendidikan Pesantren jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pesantren dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kajian keislaman sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
  9. Santri adalah peserta didik yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama Islam di Pesantren.
  10. Kiai, Tuan Guru, Anre Gurutta, Inyiak, Syekh, Ajengan, Buya, Nyai, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Kiai adalah seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama Islam yang berperan sebagai figur, teladan, dan/atau pengasuh Pesantren.
  11. Dewan Masyayikh atau Sebutan Lain yang selanjutnya disebut Dewan Masyayikh adalah lembaga yang dibentuk oleh Pesantren yang bertugas melaksanakan sistem penjaminan mutu internal Pendidikan Pesantren.
  12. Majelis Masyayikh adalah lembaga mandiri dan independen sebagai perwakilan Dewan Masyayikh dalam merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren.
  13. Ahlul Halli Wal Aqdi yang selanjutnya disingkat AHWA adalah tim yang bertugas memilih anggota Majelis Masyayikh.
  14. Piagam Statistik Pesantren yang selanjutnya disingkat PSP adalah tanda bukti daftar yang diberikan kepada Pesantren.
  15. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
  16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
  17. Direktorat Jenderal adalah unsur pelaksana pada Kementerian yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan Islam.
  18. Direktur Jenderal adalah perrumpin Direktorat Jenderal.

Pasal 2

(1) Pesantren menyelenggarakan Pendidikan Pesantren sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional.
(2) Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam:
a. bentuk Pengkajian Kitab Kuning;
b. bentuk Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin; dan
c. bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

Pasal 3

(1) Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diselenggarakan berdasarkan kekhasan, tradisi, dan kurikulum pendidikan masing-masing Pesantren.
(2) Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan tujuan membentuk Santri yang unggul dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan mampu menghadapi perkembangan zaman.
(3) Santri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai:
a. akhlak mulia;
b. kedalaman ilmu agama Islam;
c. keteladanan;
d. kecintaan terhadap tanah air;
e. kemandirian;
f. keterampilan; dan 
g. wawasan global.

BAB II JALUR, JENJANG, DAN BENTUK PENDIDIKAN PESANTREN

Pasal 4

Pendidikan Pesantren diselenggarakan melalui jalur:
a. pendidikan formal; dan/ atau
b. pendidikan nonformal.

Pasal 5

Pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dilaksanakan dalam jenjang pendidikan:
a. dasar;
b. menengah; dan 
c. tinggi.

Pasal 6

Pendidikan Pesantren pada jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diselenggarakan dalam bentuk: 
a. satuan Pendidikan Muadalah;
b. satuan Pendidikan Diniyah Formal; dan 
c. Ma'had Aly.

Pasal 7

Pendidikan Pesantren pada jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b diselenggarakan dalam:
a. bentuk Pengkajian Kitab Kuning; dan
b. bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

BAB III PENDIDIKAN MUADALAH

Bagian Kesatu
Jenjang dan Bentuk

Pasal 8

Satuan Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a terdiri atas:
a. satuan Pendidikan Muadalah salafiyah; dan 
b. satuan Pendidikan Muadalah muallimin.

Pasal 9

(1) Satuan Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada jenjang pendidikan dasar diselenggarakan dalam bentuk:
a. satuan Pendidikan Muadalah ula; dan/ atau
b. satuan Pendidikan Muadalah wustha.
(2) Satuan Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada jenjang pendidikan menengah diselenggarakan dalam bentuk satuan Pendidikan Muadalah ulya.
(3) Jenjang satuan Pendidikan Muadalah dapat diselenggarakan dalam waktu 6 (enam) tahun atau lebih dengan menggabungkan penyelenggaraan satuan Pendidikan Muadalah wustha dan satuan Pendidikan Muadalah ulya secara berkesinambungan.

Bagian Kedua

Santri

Pasal 10

(1) Santri pada satuan Pendidikan Muadalah ula paling rendah berusia 6 (enam) tahun.
(2) Santri pada satuan Pendidikan Muadalah wustha paling sedikit harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah satuan Pendidikan Muadalah ula atau sederajat; dan
b. memenuhi kompetensi untuk mengikuti satuan Pendidikan Muadalah wustha.
(3) Santri pada satuan Pendidikan Muadalah ulya paling sedikit harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah satuan Pendidikan Muadalah wustha atau sederajat; dan
b. memenuhi kompetensi untuk mengikuti satuan Pendidikan Muadalah ulya.
(4) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b ditetapkan oleh penyelenggara satuan Pendidikan Muadalah.
(5) Santri pada satuan Pendidikan Muadalah yang diselenggarakan dalam waktu 6 (enam) tahun atau lebih dengan menggabungkan satuan Pendidikan Muadalah wustha dan satuan Pendidikan Muadalah ulya secara berkesinambungan dikecualikan dari ketentuan ayat (3).

Pasal 11

(1) Santri yang tidak menyelesaikan jenjang satuan Pendidikan Muadalah dihargai sesuai kelas pada jenjangnya dengan bukti yang cukup.
(2) Bukti yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa raport dan/atau surat keterangan yang diterbitkan oleh satuan Pendidikan Muadalah yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Kurikulum

Pasal 12

Kurikulum Pendidikan Muadalah terdiri atas:
a. kurikulum Pesantren; dan
b. kurikulum pendidikan umum.

Pasal 13

(1) Kurikulum Pendidikan Muadalah salafiyah dan Pendidikan Muadalah muallimin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikembangkan oleh Pesantren.
(2) Kurikulum Pendidikan Muadalah salafiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbasis Kitab Kuning.
(3) Kurikulum Pendidikan Muadalah muallimin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbasis Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin.

Pasal 14

(1) Pengembangan kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disusun berdasarkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren yang dirumuskan oleh Majelis Masyayikh.
(2) Dalam merumuskan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Masyayikh memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

Pasal 15

(1) Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b paling sedikit memuat:
a. pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan; 
b. bahasa Indonesia;
c. matematika; dan
d. ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial.
(2) Materi muatan kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk mata pelajaran atau kajian yang terintegrasi dengan kurikulum Pesantren.
(3) Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh penyelenggara satuan Pendidikan Muadalah dengan berpedoman pada kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren yang dirumuskan oleh Majelis Masyayikh.

Bagian Keempat
Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Paragraf 1
Pendidik

Pasal 16
(1) Pendidik dalam penyelenggaraan Pendidikan Muadalah harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai pendidik profesional.
(2) Kualifikasi dan kompetensi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. latar belakang pendidikan;
b. kemampuan penguasaan ilmu agama Islam sesuai dengan bidang yang diampu; dan/ atau
c. sertifikat pendidik.

Pasal 17

(1) Latar belakang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dapat:
a. berpendidikan Pesantren; dan/ atau
b. pendidikan tinggi. 
(2) Berpendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan:
a. lulusan sarjana dari Ma'had Aly; atau
b. lulusan Pesantren.
(3) Pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan lulusan sarjana dari perguruan tinggi yang terakreditasi.

Pasal 18

Pendidik yang berasal dari lulusan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dapat mengajar setelah mendapat persetujuan dari Dewan Masyayikh.

Pasal 19

Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 harus memenuhi kompetensi ilmu agama Islam dan/ atau kompetensi sesuai dengan bidang yang diampu dan bertanggung jawab.

Paragraf 2
Tenaga Kependidikan

Pasal 20

(1) Tenaga kependidikan pada satuan Pendidikan Muadalah dapat berasal dari pendidik yang diberikan tugas tambahan dan tenaga lain sesuai dengan kebutuhan.
(2) Tenaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tenaga kependidikan yang diangkat dari anggota masyarakat untuk menunjang kegiatan pendidikan.
(3) Tenaga kependidikan pada satuan Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. pimpinan satuan Pendidikan Muadalah;
b. tenaga perpustakaan;
c. tenaga administrasi; dan 
d. tenaga laboratorium.

Bagian Kelima
Penilaian dan Kelulusan

Pasal 21
(1) Penilaian pada Pendidikan Muadalah dilakukan oleh pendidik dan satuan Pendidikan Muadalah.
(2) Penilaian oleh pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkesinambungan yang bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar Santri.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam bentuk:
a. penilaian harian; dan
b. penilaian berdasarkan tugas terstruktur.
(4) Penilaian oleh satuan Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi semua mata pelajaran dan kompetensi lulusan Santri di setiap jenjang Pendidikan Muadalah.
(5) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk:
a penilaian berkala; dan 
b. penilaian akhir.

Pasal 22

(1) Santri satuan Pendidikan Muadalah yang telah menyelesaikan pendidikan dan dinyatakan lulus melalui penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diberikan syahadah atau ijazah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. lambang negara;
b. nomor syahadah atau ijazah;
c. nama satuan pendidikan; 
d. nomor statistik satuan pendidikan;
e. nama Santri;
f. tempat dan tanggal lahir Santri;
g. nomor induk Santri; dan
h. nomor induk siswa nasional.
(3) Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
a. melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis; dan/atau
b. mendapatkan kesempatan kerja.
(4) Format syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 23

Dalam hal syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) diterbitkan oleh Pesantren induk yang tidak memberikan kewenangan penerbitan syahadah atau ijazah oleh Pesantren cabang, nomor statistik Pesantren menggunakan nomor statistik Pesantren induk.

Bagian Keenam
Sarana dan Prasarana

Pasal 24

(1) Satuan Pendidikan Muadalah wajib memiliki sarana dan prasarana pendidikan untuk mendukung proses pembelajaran dengan memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
(2) Kriteria aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Majelis Masyayikh. 
(3) Menteri dapat memberikan fasilitasi sarana dan prasarana pada satuan Pendidikan Muadalah untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.

Pasal 25

Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 paling sedikit terdiri atas:
a. ruang kelas;
b. ruang pimpinan satuan pendidikan;
c. ruang pendidik;
d. ruang tata usaha;
e. ruang perpustakaan; dan
f. ruang laboratorium.

Bagian Ketujuh
Pendirian Pendidikan Muadalah

Paragraf 1
Persyaratan

Pasal 26

(1) Pendirian satuan Pendidikan Muadalah wajib memperoleh izin dari Menteri.
(2) Izin dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah memenuhi persyaratan:
a. berbadan hukum yang dibuktikan dengan akta notaris yang disahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia;
b. memiliki PSP; 
c didirikan di lingkungan Pesantren yang dibuktikan dengan denah lokasi;
d. memiliki struktur organisasi pengelola Pesantren;
e. Pesantren sudah beroperasi dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak didirikan yang dibuktikan dengan surat pernyataan;
f. memiliki rencana kurikulum Pendidikan Muadalah;
g. memiliki paling sedikit 5 (lima) orang pendidik dan 2 (dua) orang tenaga kependidikan;
h. memiliki sarana dan prasarana kegiatan pembelajaran yang berada di dalam Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
i. rencana sumber pendanaan untuk kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun ajaran berikutnya;
j. memiliki sistem evaluasi pendidikan;
k. memiliki rencana kalender pendidikan; dan
l. memiliki Santri mukim paling sedikit 120 (seratus dua puluh) orang.
(3) Kalender pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k memuat:
a. jadwal pembelajaran;
b. evaluasi berkala;
c. Ujian;
d. kegiatan ekstra kurikuler; dan 
e. hari libur.

Paragraf 2
Prosedur Pengajuan Permohonan

Pasal 27

(1) Pimpinan Pesantren mengajukan permohonan izin pendirian satuan Pendidikan Muadalah secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).

Pasal 28

(1) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.
(2) Dalam hal dokumen tidak lengkap, Direktur Jenderal menyampaikan surat pemberitahuan kepada pimpinan Pesantren untuk melengkapi dokumen dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan disampaikan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pimpinan Pesantren tidak melengkapi dokumen, permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 29

(1) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dokumen permohonan dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal melakukan verifikasi keabsahan dokumen dan/atau visitasi lapangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi keabsahan dokumen dan/atau visitasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bukti ketidaksesuaian dengan dokumen yang disampaikan, Direktur Jenderal menolak permohonan disertai dengan alasan.

Paragraf 3
Penetapan Izin Pendirian

Pasal 30

(1) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi keabsahan dokumen dan/atau visitasi lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) ditemukan bukti kesesuaian dengan dokumen yang disampaikan, Direktur Jenderal menetapkan izin pendirian.
(2) Penetapan izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. nama dan alamat satuan pendidikan;
b. nama dan alamat Pesantren; dan
c. nomor statistik satuan pendidikan.

Pasal 31

Izin pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 berlaku sepanjang satuan Pendidikan Muadalah menyelenggarakan Pendidikan Muadalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV PENDIDIKAN DINIYAH FORMAL

Bagian Kesatu
Jenjang dan Bentuk

Pasal32

(1) Satuan Pendidikan Diniyah Formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b diselenggarakan dalam bentuk:
a. satuan Pendidikan Diniyah Formal ula; dan/ atau
b. satuan Pendidikan Diniyah Formal wustha.
(2) Satuan Pendidikan Diniyah Formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b diselenggarakan dalam bentuk satuan Pendidikan Diniyah Formal ulya.

Pasal 33

(1) Satuan Pendidikan Diniyah Formal ula sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a diselenggarakan paling singkat selama 6 (enam) tahun.
(2) Satuan Pendidikan Diniyah Formal wustha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b diselenggarakan paling singkat selama 3 (tiga) tahun.
(3) Satuan Pendidikan Diniyah Formal ulya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)  diselenggarakan paling singkat selama 3 (tiga) tahun.

Bagian Kedua
Santri

Pasal 34

(1) Santri pada satuan Pendidikan Diniyah Formal ula paling rendah berusia 6 (enam) tahun.
(2) Santri pada satuan Pendidikan Diniyah Formal wustha paling sedikit harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah satuan Pendidikan Diniyah Formal ula atau sederajat; dan
b. memenuhi kompetensi untuk mengikuti satuan Pendidikan Diniyah Formal wustha.
(3) Santri pada satuan Pendidikan Diniyah Formal ulya paling sedikit harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah satuan Pendidikan Diniyah Formal wustha atau sederajat; dan
b. memenuhi kompetensi untuk mengikuti satuan Pendidikan Diniyah Formal ulya.
(4) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b ditetapkan oleh penyelenggara satuan Pendidikan Diniyah Formal.

Pasal 35

(1) Santri yang tidak menyelesaikan jenjang satuan Pendidikan Diniyah Formal dihargai sesuai kelas pada jenjangnya dengan bukti yang cukup.
(2) Bukti yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa raport dan/atau surat keterangan yang diterbitkan oleh satuan Pendidikan Diniyah Formal yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Kurikulum

Pasal 36

Kurikulum Pendidikan Diniyah Formal terdiri atas:
a. kurikulum Pesantren; dan
b. kurikulum pendidikan umum.

Pasal 37

(1) Majelis Masyayikh menyusun rumusan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a dengan berbasis Kitab Kuning.
(2) Rumusan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 38

(1) Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b pada satuan Pendidikan Diniyah Formal ula dan wustha wajib memasukkan materi muatan:
a. pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan;
b. bahasa Indonesia;
c. matematika; dan
d. ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial.
(2) Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b pada satuan Pendidikan Diniyah Formal ulya wajib memasukkan materi muatan:
a. pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan;
b. bahasa Indonesia;
c. matematika;
d. ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial; dan
e. seni dan budaya.
(3) Materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk mata peiajaran atau kajian yang terintegrasi dengan kurikulum Pesantren.
(4) Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh penyelenggara satuan Pendidikan Diniyah Formal dengan berpedoman pada kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren yang dirumuskan oleh Majelis Masyayikh.

Bagian Keempat
Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Paragraf 1
Pendidik

Pasal 39

(1) Pendidik dalam penyelenggaraan satuan Pendidikan Diniyah Formal harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai pendidik profesional.
(2) Kualifikasi dan kompetensi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. latar belakang pendidikan;
b. kemampuan penguasaan ilmu agama Islam sesuai dengan bidang yang diampu; dan/ atau
c. sertifikat pendidik.

Pasal 40

(1) Latar belakang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat 
(2) huruf a dapat:
a. berpendidikan Pesantren; dan/ atau 
b. pendidikan tinggi.
(2) Berpendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan:
a. lulusan sarjana dari Ma'had Aly; atau
b. lulusan Pesantren.
(3) Pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan lulusan sarjana dari perguruan tinggi yang terakreditasi.

Pasal 41

Pendidik yang berasal dari lulusan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b dapat mengajar setelah mendapat persetujuan dari Dewan Masyayikh.

Pasal 42

Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) harus memenuhi kompetensi ilmu agama Islam dan/ atau kompetensi sesuai dengan bidang yang diampu dan bertanggung jawab.

Paragraf 2
Tenaga Kependidikan

Pasal43

(1) Tenaga kependidikan pada satuan Pendidikan Diniyah Formal dapat berasal dari pendidik yang diberikan tugas tambahan dan tenaga lain sesuai dengan kebutuhan.
(2) Tenaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tenaga kependidikan yang diangkat dari anggota masyarakat untuk merrunjang kegiatan pendidikan.
(3) Tenaga kependidikan pada satuan Pendidikan Diniyah Formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. pimpinan satuan Pendidikan Diniyah Formal;
b. tenaga perpustakaan;
c. tenaga administrasi; dan 
d. tenaga laboratorium.

Bagian Kelima
Penilaian dan Kelulusan

Pasal 44

(1) Penilaian Pendidikan Diniyah Formal dilakukan oleh pendidik, satuan Pendidikan Diniyah Formal, dan Menteri.
(2) Penilaian oleh pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkesinambungan yang bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar Santri.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam bentuk:
a. penilaian harian; dan
b. penilaian berdasarkan tugas terstruktur.
(4) Penilaian oleh satuan Pendidikan Diniyah Formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi semua mata pelajaran dan kompetensi lulusan Santri di setiap jenjang satuan Pendidikan Diniyah Formal.
(5) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk:
a penilaian tengah semester; dan
b. penilaian akhir semester.
(6) Penilaian oleh Menteri dilakukan dalam bentuk ujian akhir Pendidikan Diniyah Formal berstandar nasional (imtihan watham).
(7) Ujian akhir Pendidikan Diniyah Formal berstandar nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan oleh satuan Pendidikan Diniyah Formal.
(8) Hasil UJ1an akhir Pendidikan Diniyah Formal sebagaimana dimaksud pada ayat (7) digunakan oleh Menteri untuk mengukur capaian kompetensi Santri.

Pasal 45

(1) Santri pada satuan Pendidikan Diniyah Formal yang telah menyelesaikan pendidikan dan dinyatakan lulus melalui penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diberikan syahadah atau ijazah.
(2) Syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling  sedikit memuat:
a. lambang negara;
b. nomor syahadah atau ijazah;
c. nama satuan pendidikan;
d. nomor statistik satuan pendidikan;
e. nama Santri; 
f. tempat dan tanggal lahir Santri;
g. nomor induk Santri:
h. nomor induk siswa nasional; dan
i. nomor ujian akhir Pendidikan Diniyah Formal berstandar nasional.
(3) Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
a. melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis; dan/atau
b. mendapatkan kesempatan kerja.
(4) Format syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 46

Dalam hal syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) diterbitkan oleh Pesantren induk yang tidak memberikan kewenangan penerbitan syahadah atau ijazah oleh Pesantren cabang, nomor statistik Pesantren menggunakan nomor statistik Pesantren induk.

Bagian Keenam
Sarana dan Prasarana

Pasal 47

(1) Satuan Pendidikan Diniyah Formal wajib memiliki sarana dan prasarana pendidikan untuk mendukung proses pembelajaran dengan memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
(2) Majelis Masyayikh menyusun kriteria aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Menteri dapat memberikan fasilitasi sarana dan prasarana pada satuan Pendidikan Diniyah Formal untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.

Pasal 48

Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 paling sedikit terdiri atas:
a. ruang kelas;
b. ruang pimpinan satuan pendidikan;
c. ruang pendidik;
d. ruang tata usaha;
e. ruang perpustakaan; dan 
f. ruang laboratoraium.

Bagian Ketujuh
Pendirian Satuan Pendidikan Diniyah Formal

Paragraf 1
Persyaratan

Pasal 49

(1) Pendirian Satuan Pendidikan Diniyah Formal wajib memperoleh izin dari Menteri.
(2) Izin dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah memenuhi persyaratan:
a. berbadan hukum yang dibuktikan dengan akta notaris yang disahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia;
b. memiliki PSP;
c didirikan di lingkungan Pesantren yang dibuktikan dengan denah lokasi;
d. memiliki struktur organisasi pengelola Pesantren;
e. Pesantren sudah beroperasi dalam jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak didirikan yang dibuktikan dengan surat pernyataan; 
f. memiliki rencana kurikulum Pendidikan Diniyah Formal;
g. memiliki paling sedikit 5 (lima) orang pendidik dan 2 (dua) orang tenaga kependidikan;
h. memiliki sarana dan prasarana kegiatan pembelajaran yang berada di dalam Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48;
i. rencana sumber pendanaan untuk kelangsungan pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun ajaran berikutnya;
j. memiliki sistem evaluasi pendidikan;
k. rencana kalender pendidikan;
1. memiliki Santri mukim paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) orang; dan
m. Santri yang terdaftar sebagai calon Santri satuan Pendidikan Diniyah Formal harus memenuhi 1 (satu) rombongan belajar.
(3) Kalender pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k memuat:
a. jadwal pembelajaran;
b. evaluasi berkala;
c. Ujian;
d. kegiatan ekstra kurikuler; dan
e. hari libur.

Paragraf 2
Prosedur Pengajuan Permohonan

Pasal 50

(1) Pimpinan Pesantren mengajukan permohonan izin pendirian satuan Pendidikan Diniyah Formal secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
(2) Permohonan izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2).

Pasal 51

(1) Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.
(2) Dalam hal dokumen tidak lengkap, Direktur Jenderal menyampaikan surat pemberitahuan kepada pimpinan Pesantren untuk melengkapi dokumen dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan disampaikan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pimpinan Pesantren tidak melengkapi dokumen, permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 52

(1) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dokumen permohonan dinyatakan lengkap, Direktur Jenderal melakukan verifikasi keabsahan dokumen dan/ atau visitasi lapangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi keabsahan dokumen dan/ atau visitasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bukti ketidaksesuaian dengan dokumen yang disampaikan, Direktur Jenderal menolak permohonan disertai dengan alasan.

Paragraf 3
Penetapan Izin Pendirian

Pasal 53

(1) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi keabsahan dokumen dan/atau visitasi lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) ditemukan bukti kesesuaian dengan dokumen yang disampaikan, Direktur Jenderal menetapkan izin pendirian.
(2) Penetapan izin pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. nama dan alamat satuan pendidikan;
b. nama dan alamat Pesantren; dan
c. nomor statistik satuan pendidikan.

Pasal 54

Izin pendirian se bagaimana dimaksud dalam Pasal 53 berlaku sepanjang satuan Pendidikan Diniyah Formal menyelenggarakan Pendidikan Diniyah Formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V MA'HAD ALY

Pasal 55

(1) Ma'had Aly merupakan pendidikan formal pada jenjang pendidikan tinggi.
(2) Ma'had Aly sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan pendidikan akademik pada program:
a. sarjana (marhalah ula);
b. magister (marhalah tsaniyah); dan 
c. doktor (marhalah tsalisah).

Pasal 56

(1) Ma'had Aly mengembangkan rumpun ilmu agama Islam berbasis Kitab Kuning dengan pendalaman bidang ilmu keislaman tertentu.
(2) Pendalaman bidang ilmu keislaman yang diselenggarakan oleh Ma'had Aly yang dikembangkan berdasarkan tradisi akademik Pesantren dalam bentuk konsentrasi kajian.
(3) Ma'had Aly dapat menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) konsentrasi kajian pada 1 (satu) rumpun ilmu agama Islam.
(4) Kurikulum Ma'had Aly wajib memasukkan materi muatan Pancasila, kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.
(5) Ma'had Aly memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya sebagaimana tertuang dalam statuta Ma'had Aly.
(6) Santri Ma'had Aly yang telah menyelesaikan proses pembelajaran dan dinyatakan lulus berhak menggunakan gelar dan mendapatkan ijazah serta berhak melanjutkan pendidikan pada program yang lebih tinggi dan kesempatan kerja.

Pasal 57

Ketentuan lebih lanjut mengenai Ma'had Aly diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VI
PENGKAJIAN KITAB KUNING DAN PENDIDIKAN PESANTREN DALAM BENTUK LAIN YANG TERINTEGRASI DENGAN PENDIDIKAN UMUM

Pasal 58

Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan secara:
a. berjenjang; atau 
b. tidak berjenjang.

Pasal 59

(1) Dalam hal Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum dilakukan secara berjenjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilaksanakan pada jenjang:
a. dasar (ula dan wustha); dan
b. menengah (ulya). 
(2) Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan metode klasikal.

Pasal 60

Dalam hal Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum dilakukan secara tidak berjenjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b dilaksanakan dengan menggunakan metode sorogan, bandongan, dan/ atau metode pembelajaran lain.

Pasal 61

(1) Dalam pelaksanaan Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 60, Pesantren menetapkan Kitab Kuning tertentu dalam pembelajaran.
(2) Kitab Kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:
a. rumpun ilmu;
b. konsentrasi kajian; dan/ atau
c. tema kajian.

Pasal 62

(1) Selain melakukan Pengkajian K tab Kuning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pesantren dapat melaksanakan pembelajaran berdasarkan kurikulum pendidikan umum.
(2) Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan;
b. bahasa Indonesia;
c. matematika; dan
d. ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial.

Pasal 63

(1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan nonformal dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum dapat menerbitkan syahadah atau ijazah sebagai tanda kelulusan.
(2) Syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. lambang negara;
b. nomor syahadah atau ijazah;
c. nama Pesantren;
d. nomor statistik Pesantren;
e. nama Santri;
f. tempat dan tanggal lahir Santri; dan
g. nomor induk santri nasional.
(3) Format syahadah atau ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 64

(1) Lulusan Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan nonformal dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum diakui sama dengan lulusan pendidikan formal setelah dinyatakan lulus ujian kompetensi.
(2) Ujian kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pesantren.
(3) Ujian kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara mandiri berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Pesantren setelah memperhatikan kriteria lulusan Pesantren yang ditetapkan oleh Majelis Masyayikh. 

Pasal 65

Ujian kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diikuti oleh Santri yang memenuhi persyaratan:
a. mukim yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Pesantren;
b. memiliki nomor induk siswa nasional; dan
c. aktif mengikuti pembelajaran yang dibuktikan dengan daftar hadir.

Pasal 66

(1) Penyelenggaraan pendidikan nonformal dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning dan Pendidikan Pesantren dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum wajib memiliki sarana dan prasarana pendidikan untuk mendukung proses pembelajaran dengan memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
(2) Majelis Masyayikh menyusun kriteria aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Menteri dapat memberikan fasilitasi sarana dan prasarana pada pendidikan nonformal dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.

BAB VII
PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PESANTREN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 67

(1) Majelis Masyayikh menyelenggarakan penjarrunan mutu Pendidikan Pesantren.
(2) Untuk menyelenggarakan penjaminan mutu Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud ayat (1), Majelis Masyayikh menyusun sistem penjaminan mutu pendidikan Pesantren.
(3) Sistem penjamman mutu Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat standar:
a. kurikulum;
b. lembaga;
c. pendidik dan tenaga kependidikan; dan 
d. lulusan.
(4) Sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 68

(1) Sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren berfungsi:
a. melindungi kemandirian dan kekhasan Pendidikan Pesantren;
b. mewujudkan pendidikan yang bermutu; dan
c. memajukan penyelenggaraan Pendidikan Pesantren.

(2) Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan pada aspek:
a. peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya Pesantren;
b. penguatan pengelolaan Pesantren; dan
c. peningkatan dukungan sarana dan prasarana Pesantren.

Bagian Kedua
Pembentukan Majelis Masyayikh dan Dewan Masyayikh

Paragraf 1
Majelis Masyayikh

Pasal 69

(1) Menteri menetapkan Majelis Masyayikh.
(2) Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan perwakilan dari Dewan Masyayikh.
(3) Majelis Masyayikh berjumlah ganjil paling sedikit 9 (sembilan) orang dan paling banyak berjumlah 17 (tujuh belas) orang dengan merepresentasikan rumpun ilmu agama Islam.
(4) Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. ketua merangkap anggota;
b. sekretaris merangkap anggota; dan 
c. anggota.
(5) Ketua dan sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dipilih dari dan oleh anggota.
(6) Ketentuan mengenai pemilihan ketua dan sekretaris Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Majelis Masyayikh.

Pasal 70

(1) Masa khidmat Majelis Masyayikh selama 5 (lima) tahun.
(2) Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih kembali untuk masa khidmat berikutnya dengan ketentuan tidak melebihi 2 (dua) kali masa khidmat berturut-turut.

Pasal 71

(1) Majelis Masyayikh dipilih oleh AHWA.
(2) AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat ad-hoc.
(3) AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki komitmen kebangsaan;
b. memiliki integritas;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. memiliki pengetahuan dan/ atau pengalaman terkait Pendidikan Pesantren;
e. memiliki keahlian dalam bidang keilmuan agama Islam;
f. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun pada saat dipilih; dan
g. bukan pengurus partai politik.
(4) AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur:
a. pemerintah; dan
b. asosiasi Pesantren yang beranggotakan Pesantren yang menyelenggarakan kajian Kitab Kuning, Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin, dan bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
(5) Unsur AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a ditunjuk oleh Menteri dan berjumlah 1 (satu) orang.
(6) Unsur AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b:
a. berasal dari Dewan Masyayikh;
b. berasal dari asosiasi Pesantren berskala nasional; dan
c. memperhatikan jumlah keanggotaan Pesantren secara proporsional.
(7) AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 9 (sembilan) orang.
(8) AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 72

(1) Direktur Jenderal menetapkan 9 (sembilan) orang bakal calon anggota AHWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (7) berdasarkan prmsip proporsional.
(2) Direktur Jenderal menyampaikan surat permintaan bakal calon anggota AHWA kepada pimpinan asosiasi Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pimpinan asosiasi Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengajukan usulan bakal calon AHWA secara tertulis kepada Direktur Jenderal disertai dengan daftar riwayat hidup calon AHWA.
(4) Daftar riwayat hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat keterangan mengenai:
a. nama lengkap bakal calon AHWA;
b. tempat, tanggal, bulan, dan tahun kelahiran;
c. alamat kantor dan rumah;
d. riwayat pendidikan;
e. riwayat pekerjaan; dan
f. pengalaman mengelola Pesantren.

Pasal 73

(1) Direktur Jenderal mengusulkan calon anggota AHWA kepada Menteri.
(2) Menteri menetapkan calon anggota AHWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi anggota AHWA dengan Keputusan Menteri.

Pasal 74

(1) Majelis Masyayikh dipilih oleh AHWA.
(2) Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. memiliki komitmen kebangsaan;
b. memiliki integritas;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. memiliki pengetahuan dan/ atau pengalaman terkait Pendidikan Pesantren; 
e. memiliki keahlian dalam bidang keilmuan agama Islam;
f. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun pada saat dipilih;
g. bukan pengurus partai politik; dan h. bukan anggota AHWA.

Pasal 75

(1) AHWA menetapkan bakal calon anggota Majelis Masyayikh berdasarkan prinsip:
a. proporsionalitas; dan
b. representasi rumpun ilmu agama Islam.
(2) Penetapan bakal calon anggota Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui musyawarah mufakat.
(3) AHWA menyampaikan surat permohonan kesediaan kepada bakal calon anggota Majelis Masyayikh yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) AHWA menetapkan bakal calon anggota Majelis Masyayikh menjadi calon anggota Majelis Masyayikh berdasarkan surat kesediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) AHWA menyampaikan calon anggota Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Menteri.
(6) Menteri menetapkan calon anggota Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi anggota Majelis Masyayikh dengan Keputusan Menteri.

Pasal 76

(1) Keanggotaan Majelis Masyayikh berakhir apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. dipidana berdasarkan kekuatan hukum tetap;
d. terlibat secara langsung dan/ a tau tidak langsung dalam organisasi yang dilarang; dan/ atau
e. melanggar kode etik Majelis Masyayikh. 
(2) Penetapan berakhirnya keanggotaan Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e ditetapkan melalui sidang Majelis Masyayikh.
(3) Dalam hal anggota Majelis Masyayikh berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Majelis Masyayikh dapat mengusulkan pengganti kepada Menteri.
(4) Pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada hasil musyawarah yang disepakati paling sedikit 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota Majelis Masyayikh.
(5) Menteri menetapkan pengganti anggota Majelis Masyayikh.

Pasal 77

(1) Dalam melaksanakan tugas, Majelis Masyayikh dibantu oleh sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala sekretariat yang dijabat secara ex-officio oleh pejabat tinggi pratama yang membidangi Pesantren.
(3) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:
a. mengoordinasikan penyusunan program dan kegiatan;
b. menyiapkan bahan penyusunan program dan kegiatan;
c. menyiapkan bahan penyusunan laporan;
d. menyusun pertanggungjawaban keuangan; dan
e. melaksanakan tugas lain sesuai dengan kebijakan Majelis Masyayikh. 

Paragraf 2
Dewan Masyayikh

Pasal 78

(1) Pesantren membentuk Dewan Masyayikh.
(2) Dewan Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kiai.
(3) Dewan Masayayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ketua; dan b. anggota.
(4) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dijabat oleh Kiai.
(5) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang.

Bagian Ketiga
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren

Paragraf 1
Umum

Pasal 79

(1) Sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren terdiri atas:
a. penjaminan mutu eksternal; dan
b. penjaminan mutu internal.
(2) Penjaminan mutu Pendidikan Pesantren secara eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Majelis Masyayikh.
(3) Penjaminan mutu Pendidikan Pesantren secara internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Dewan Masyayikh. 

Paragraf 2
Penjaminan Mutu Eksternal

Pasal 80

Penjaminan mutu eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf a direncanakan, dilaksanakan, dievaluasi, dan dikembangkan oleh Majelis Masyayikh.

Pasal 81

Untuk melakukan penjamman mutu eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Majelis Masyayikh mempunyai tugas:
a. menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren;
b. memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren;
c. merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan Pesantren;
d. merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;
e. melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu; dan
f. memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah Santri yang dikeluarkan oleh Pesantren.

Paragaraf 3
Penjaminan Mutu Internal

Pasal 82

(1) Penjaminan mutu internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b direncanakan, dilaksanakan, dievaluasi, dan dikembangkan oleh Dewan Masyayikh.
(2) Penjaminan mutu internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada sistem penjaminan mutu eksternal.

Bagian Keempat
Pemetaan, Perencanaan, serta Afirmasi dan Fasilitasi

Pasal 83

(1) Penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf e dilakukan paling sedikit melalui:
a. asesmen; dan/ atau
b. survei.
(2) Hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal.

Pasal 84

Berdasarkan hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, Direktur Jenderal melakukan:
a. pemetaan mutu;
b. perencanaan target pemenuhan mutu berdasarkan pemetaan mutu; dan
c. pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam pencapaian target pemenuhan mutu.

Pasal 85

(1) Pemetaan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf a diwujudkan dalam bentuk laporan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan melalui sistem informasi dan manajemen data Pesantren.

Pasal 86

(1) Perencanaan target pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf b disusun berdasarkan laporan atas hasil pemetaan mutu.
(2) Perencanaan target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan target tahunan dan 5 (lima) tahunan.
(3) Perencanaan target sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bagian dari rencana strategis kementerian yang menyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang agama.

Pasal 87

Afirmasi dan fasilitasi dalam pencapaian target pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf c dilakukan paling sedikit dalam bentuk:
a. pengembangan kajian tafaqquhfiddin;
b. penguatan kelembagaan Pesantren;
c. peningkatan kualifikasi dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan; dan
d. pengakuan lulusan Pesantren.

BAB VIII PENDANAAN

Pasal 88

(1) Majelis Masyayikh didanai dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
a. operasional Majelis Masyayikh; dan/ atau
b. penyelenggaraan kegiatan.
(3) Pendanaan penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berasal dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

BAB IX
PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI

Pasal 89

(1) Direktur Jenderal mengembangkan sistem informasi dan manajemen data Pesantren.
(2) Sistem informasi dan manajemen data Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data mengenai:
a. kurikulum;
b. kelembagaan;
c. sarana dan prasarana;
d. jenis layanan pendidikan Pesantren;
e. pendidik dan tenaga kependidikan;
f. santri;
g. lulusan;
h. kekhasan Pesantren;
i. peran dakwah Pesantren; dan
j. potensi ekonomi Pesantren.
(3) Sistem informasi dan manajemen data Pesantren dapat diintegrasikan dengan sistem informasi dan manajemen kementerian/ lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 90

(1) Pengelolaan data dan informasi Pendidikan Muadalah, Pendidikan Diniyah Formal, dan Pendidikan Pesantren berbentuk Pengkajian Kitab Kuning diselenggarakan secara terintegrasi dengan sistem informasi dan manajemen untuk mengelola data dan informasi Pesantren.
(2) Sistem informasi dan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal.
(3) Pengelolaan data dan informasi Pendidikan Muadalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diintegrasikan dengan pengelolaan data dan informasi kependudukan, pendidikan, serta pengelolaan data dan informasi lain berdasarkan kebijakan dari Menteri.
(4) Ketentuan mengenai pengelolaan data dan informasi Pendidikan Muadalah ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

BAB X KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 91

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. status dan peringkat akreditasi satuan Pendidikan Pesantren yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang dinyatakan tetap berlaku sampai masa akreditasi berakhir;
b. semua ketentuan yang mengatur mengenai penjaminan mutu Pendidikan Pesantren dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan dan ketentuan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
c. semua ketentuan yang mengatur mengenai Pendidikan Diniyah Formal dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan dan ketentuan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini.

BAB XI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 92

Majelis Masyayikh wajib dibentuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

Pasal 93

Sistem informasi dan manajemen data Pesantren wajib tersedia dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

Pasal 94

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 972); dan
b. pengaturan mengenai penyelenggaraan Pendidikan Diniyah Formal dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 822), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 95

Peraturan Menteri mi mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerin tahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2020

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
FACHRUL RAZI

    Download PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren

    Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:

    Download PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren.pdf

    Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file PMA Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren. Semoga bisa bermanfaat.

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel