PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler

Berikut ini adalah berkas PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler. Download file format PDF.

PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler
PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler

PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler

Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler:

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2021
TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI REGULER

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 ayat (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 13 ayat (5), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 26, Pasal 30 ayat (6), Pasal 32 ayat (6), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 39 ayat (4), Pasal 40 ayat (3), Pasal 42 ayat (4), dan Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler;

Mengingat : 
  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6338);
  4. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 168);
  5. Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1495);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI REGULER.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu di Baitullah, masyair, serta tempat, waktu, dan syarat tertentu.
  2. Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh Menteri dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat umum.
  3. Jemaah Haji adalah warga negara yang beragama Islam yang telah mendaftarkan diri untuk menjalankan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  4. Jemaah Haji Reguler adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh Menteri.
  5. Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disebut Bipih adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan Ibadah Haji.
  6. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
  7. Petugas Penyelenggara Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat PPIH adalah petugas yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan pembinaan, pelayanan dan pelindungan, serta pengendalian dan pengoordinasian pelaksanaan operasional Ibadah Haji di dalam negeri dan/atau di Arab Saudi.
  8. Kelompok Terbang yang selanjutnya disebut Kloter adalah pengelompokan rombongan Jemaah Haji Reguler berdasarkan jadwal keberangkatan penerbangan ke Arab Saudi.
  9. Petugas Haji Daerah yang selanjutnya disingkat PHD petugas yang membantu petugas Kloter dalam pelayanan bimbingan ibadah, pelayanan umum, dan pelayanan kesehatan di Kloter.
  10. Sistem Komputerisasi Haji Terpadu yang selanjutnya disebut Siskohat adalah sistem pengelolaan data dan informasi penyelenggaraan Ibadah Haji secara terpadu.
  11. Kuota Haji adalah batasan jumlah Jemaah Haji Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi.
  12. Nomor Porsi adalah nomor urut pendaftaran yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama bagi Jemaah Haji yang mendaftar.
  13. Daftar Tunggu adalah daftar Jemaah Haji yang telah mendaftar dan mendapatkan Nomor Porsi dan menunggu keberangkatan untuk menunaikan Ibadah Haji.
  14. Surat Pendaftaran Haji yang selanjutnya disingkat SPH adalah bukti pendaftaran haji yang memuat nomor porsi yang diterbitkan oleh Kementerian.
  15. Embarkasi adalah tempat pemberangkatan Jemaah Haji ke Arab Saudi.
  16. Debarkasi adalah tempat kedatangan Jemaah Haji dari Arab Saudi.
  17. Badan Pengelola Keuangan Haji yang selanjutnya disingkat BPKH adalah lembaga yang melakukan pengelolaan keuangan haji.
  18. Bank Penerima Setoran Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPS Bipih adalah bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah yang ditunjuk oleh BPKH.
  19. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah yang selanjutnya disingkat KBIHU adalah kelompok yang menyelenggarakan bimbingan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah yang telah mendapatkan izin dari Menteri.
  20. Hari adalah hari kerja.
  21. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  22. Kementerian adalah kementerian yang menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
  23. Menteri adalah menteri yang menyelengarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
  24. Direktorat Jenderal adalah satuan kerja pada Kementerian yang membidangi Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
  25. Direktur Jenderal adalah pemimpin Direktorat Jenderal.
  26. Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Kementerian pada tingkat provinsi.
  27. Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Kantor Kementerian Agama adalah instansi vertikal Kementerian pada tingkat kabupaten/kota.
  28. Kepala Kantor Wilayah adalah pemimpin Kantor Wilayah.
  29. Kepala Kantor Kementerian Agama adalah pemimpin Kantor Kementerian Agama.

BAB II
PENDAFTARAN

Pasal 2

(1) Pendaftaran Jemaah Haji Reguler dilakukan sepanjang tahun setiap Hari.

(2) Pendaftaran Jemaah Haji Reguler dilakukan pada Kantor Kementerian Agama sesuai dengan domisili Jemaah Haji Reguler.

(3) Warga negara Indonesia tidak dapat melakukan pendaftaran Jemaah Haji Reguler apabila:
a. masih berstatus daftar tunggu; atau
b. pernah menunaikan Ibadah Haji dalam jangka waktu paling singkat 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak menunaikan Ibadah Haji terakhir.

(4) Ketentuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku bagi Jemaah Haji Reguler yang akan bertugas sebagai PPIH, PHD, atau pembimbing KBIHU pada penyelenggaraan ibadah haji tahun berjalan.

Pasal 3

(1) Jemaah Haji Reguler membayar setoran awal Bipih ke rekening BPKH melalui BPS Bipih untuk mendapatkan nomor validasi.

(2) Besaran setoran awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 4

(1) Setoran awal Bipih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) bukan dana talangan atau nama lain baik secara langsung maupun tidak langsung yang bersumber dari BPS Bipih.

(2) Dalam hal BPS Bipih diketahui memberikan dana talangan atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melakukan pemblokiran dan/atau pencabutan user id Siskohat setelah dilakukan
klarifikasi.

Pasal 5

Warga negara Indonesia yang mendaftar sebagai Jemaah Haji Reguler harus memenuhi persyaratan:
a. beragama Islam;
b. berusia paling rendah 12 (dua belas) tahun pada saat mendaftar;
c. memiliki kartu keluarga;
d. memiliki kartu tanda penduduk sesuai dengan domisili atau kartu identitas anak;
e. memiliki akta kelahiran/kenal lahir, buku nikah/kutipan akta nikah, atau ijazah; dan
f. memiliki rekening atas nama Jemaah Haji Reguler pada BPS Bipih.

Pasal 6

Kepemilikan rekening atas nama Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f dapat dibuka dan ditransaksikan melalui BPS Bipih di seluruh wilayah Indonesia.

Pasal 7

Pembayaran setoran awal Bipih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan dengan prosedur:
a. Jemaah Haji Reguler membayar setoran awal Bipih ke rekening BPKH melalui BPS Bipih;
b. BPS Bipih menerbitkan bukti setoran awal Bipih;
c. BPS Bipih menyampaikan bukti setoran awal Bipih kepada Jemaah Haji Reguler dengan tembusan ke Kantor Kementerian Agama secara elektronik.

Pasal 8

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat dilakukan melalui:
a. layanan pada Kantor Kementerian Agama;
b. layanan keliling; atau 
c. layanan elektronik.

Pasal 9

(1) Pendaftaran Jemaah Haji Reguler melalui layanan pada Kantor Kementerian Agama dan layanan keliling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dan huruf b dilakukan oleh Jemaah Haji Reguler dengan menyerahkan salinan dokumen persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d, huruf e, dan huruf f, serta bukti pembayaran setoran awal Bipih.

(2) Petugas Kantor Kementerian Agama:
a. menginput data Jemaah Haji Reguler pada aplikasi Siskohat;
b. melakukan perekaman foto; dan
c. menyerahkan lembar bukti SPH yang memuat Nomor Porsi kepada Jemaah Haji Reguler.

Pasal 10

(1) Pendaftaran Jemaah Haji Reguler melalui layanan elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c dilakukan melalui aplikasi pendaftaran haji.

(2) Jemaah Haji Reguler melakukan:
a. registrasi pada aplikasi pendaftaran haji;
b. pengambilan foto diri; dan
c. mengunggah dokumen persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d, huruf e, dan huruf f.

(3) Petugas Kantor Kementerian Agama melakukan verifikasi dokumen persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dan huruf e.

(4) Jemaah Haji Reguler menerima lembar bukti SPH elektronik yang mencantumkan Nomor Porsi.

(5) Pelaksanaan pendaftaran haji secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini.

Pasal 11

(1) Warga negara Indonesia yang telah terdaftar sebagai Jemaah Haji Reguler dapat mengajukan permohonan perubahan data SPH.

(2) Perubahan data SPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Kantor Kementerian Agama; dan
b. Direktorat Jenderal.

(3) Kantor Kementerian Agama dapat melakukan perubahan data SPH, kecuali:
a. nama Jemaah Haji Reguler;
b. nama orang tua;
c. tempat dan tanggal lahir;
d. status perkawinan;
e. status haji;
f. kabupaten/kota; atau 
g. kode pos.

Pasal 12

(1) Jemaah Haji Reguler mengajukan permohonan perubahan data secara tertulis kepada Kantor Kementerian Agama dengan melampirkan bukti yang sesuai.

(2) Dalam hal terjadi perubahan nama Jemaah Haji Reguler, wajib melampirkan bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Kantor Kementerian Agama menerbitkan bukti perubahan data SPH.

Pasal 13

(1) Menteri menetapkan waktu pelunasan Bipih.

(2) Jemaah Haji Reguler yang berhak melunasi Bipih harus memenuhi persyaratan:
a. masuk alokasi kuota keberangkatan pada musim haji tahun berjalan;
b. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah;
c. memenuhi persyaratan kesehatan; dan
d. belum pernah menunaikan Ibadah Haji atau sudah pernah menunaikan Ibadah Haji paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak menunaikan Ibadah Haji yang terakhir.

(3) Dalam hal Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jemaah Haji Reguler cadangan dapat melunasi Bipih.

(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tidak berlaku bagi Jemaah Haji Reguler yang akan bertugas sebagai PHD atau pembimbing KBIHU pada penyelenggaraan Ibadah Haji tahun berjalan.

Pasal 14

(1) Jemaah Haji Reguler yang telah melunasi Bipih dan tidak dapat berangkat pada penyelenggaraan ibadah haji tahun berjalan karena alasan tertentu, dimasukkan dalam daftar prioritas berangkat tahun berikutnya.

(2) Alasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesehatan;
b. menunggu mahram;
c. pendidikan;
d. berhadapan dengan persoalan hukum; atau 
e. pekerjaan.

(3) Jemaah Haji Reguler yang berhak melunasi Bipih tahun berjalan dan tidak melakukan pelunasan Bipih, menjadi Jemaah Haji Reguler daftar berhak lunas Bipih untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun berikutnya.

Pasal 15

Pendaftaran Jemaah Haji Reguler dinyatakan batal apabila Jemaah Haji:
a. meninggal dunia dan porsinya tidak dimanfaatkan oleh ahli waris;
b. membatalkan pendaftarannya; atau
c. dibatalkan pendaftarannya dengan alasan yang sah.

Pasal 16

(1) Pembatalan pendaftaran Jemaah Haji Reguler yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dapat dilakukan oleh ahli waris apabila Jemaah Haji meninggal dunia antara waktu mendaftar sampai dengan sebelum masuk asrama haji Embarkasi atau Embarkasi antara.

(2) Pembatalan pendaftaran Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b dapat dilakukan oleh Jemaah Haji Reguler antara waktu mendaftar sampai dengan sebelum masuk asrama haji Embarkasi atau Embarkasi antara.

(3) Ahli waris atau Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib datang langsung ke Kantor Kementerian Agama atau melalui layanan keliling dengan menyampaikan permohonan secara tertulis pembatalan pendaftaran Jemaah Haji.

(4) Dalam hal Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan tetap atau sakit permanen, dapat memberikan kuasa kepada ahli waris dengan surat kuasa bermeterai cukup dan diketahui oleh kepala desa atau lurah.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi Jemaah Haji Reguler setelah masuk asrama haji Embarkasi atau Embarkasi antara mengalami sakit sehingga harus dirawat sampai dengan masa pemberangkatan berakhir.

Pasal 17

(1) Jemaah Haji Reguler yang dibatalkan pendaftarannya dengan alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c disebabkan:
a. terbukti menggunakan kartu tanda penduduk atau kartu identitas anak yang tidak sah untuk pendaftaran haji;
b. berpindah kewarganegaraan;
c. berpindah agama;
d. meninggal dan tidak memiliki ahli waris; atau
e. meninggal dan berwasiat untuk tidak membatalkan pendaftaran haji.

(2) Pembatalan pendaftaran Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan dokumen yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau surat pernyataan dari Jemaah Haji Reguler yang diketahui oleh kepala desa atau lurah.
(3) Pembatalan pendaftaran Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada Jemaah Haji Reguler oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.

Pasal 18

(1) Ahli waris berhak mendapatkan pengembalian saldo setoran Bipih bagi Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a.

(2) Jemaah Haji Reguler berhak mendapatkan pengembalian saldo setoran Bipih bagi Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b dan huruf c.

(3) Dalam hal Jemaah Haji Reguler dibatalkan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf e, saldo setoran Bipih Jemaah Haji Reguler dikelola oleh BPKH sebagai wakil yang sah dari Jemaah Haji Reguler.

Pasal 19

(1) Ahli waris mengajukan permohonan pengembalian saldo setoran Bipih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) secara tertulis kepada Kepala Kantor Kementerian Agama dengan melampirkan dokumen:
a. SPH;
b. bukti setoran Bipih;
c. fotokopi kartu tanda penduduk, kartu identitas anak, kartu keluarga ahli waris;
d. fotokopi rekening ahli waris;
e. fotokopi akta kematian dari instansi yang membidangi kependudukan dan catatan sipil atau surat keterangan kematian dari rumah sakit atau desa/kelurahan; dan
f. surat keterangan ahli waris dan kuasa waris.

(2) Jemaah Haji Reguler mengajukan permohonan pengembalian saldo setoran Bipih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) secara tertulis kepada Kepala Kantor Kementerian Agama dengan melampirkan dokumen:
a. SPH;
b. bukti setoran Bipih;
c. fotokopi kartu tanda penduduk;
d. fotokopi rekening Jemaah Haji; dan
e. asli surat kuasa kepada ahli waris bagi Jemaah Haji Reguler yang berhalangan tetap atau sakit permanen.

Pasal 20

Dalam hal Jemaah Haji Reguler telah melakukan pembayaran setoran awal Bipih dan belum melakukan pendaftaran Jemaah Haji Reguler, ahli waris atau Jemaah Haji Reguler mengajukan permohonan pengembalian saldo setoran Bipih secara tertulis kepada Kepala Kantor Kementerian Agama dengan melampirkan dokumen:
a. bukti setoran awal Bipih;
b. fotokopi kartu tanda penduduk, kartu identitas anak, atau kartu keluarga ahli waris;
c. fotokopi rekening Jemaah Haji Reguler atau ahli waris; dan
d. asli surat kuasa ahli waris bagi Jemaah Haji Reguler yang berhalangan tetap atau sakit permanen.

Pasal 21

(1) Nomor Porsi Jemaah Haji Reguler yang berstatus batal dapat diaktifkan kembali dengan alasan:
a. kesalahan sistem;
b. kesalahan entri data;
c. pembatalan sepihak yang dilakukan oleh selain Jemaah Haji Reguler; dan/atau
d. melaksanakan putusan pengadilan.

(2) Permohonan pengaktifan kembali nomor porsi Jemaah Haji Reguler yang berstatus batal dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diajukan oleh:
a. Jemaah Haji Reguler; dan/atau
b. Kepala Kantor Kementerian Agama.

(3) Permohonan pengaktifan kembali Nomor Porsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama domisili Jemaah Haji Reguler.

(4) Kepala Kantor Kementerian Agama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) mengajukan permohonan pengaktifan kembali Nomor Porsi Jemaah Haji Reguler yang berstatus batal kepada Direktur Jenderal.

(5) Pengaktifan kembali Nomor Porsi Jemaah Haji Reguler yang berstatus batal dilaksanakan setelah dilakukan verifikasi kepada Jemaah Haji.

Pasal 22

(1) Jemaah Haji Reguler yang telah diumumkan berhak lunas dan tidak melunasi Bipih paling singkat 2 (dua) tahun berturut-turut, Jemaah Haji Reguler dikeluarkan dari berhak lunas pada tahun berikutnya.

(2) Dalam hal Jemaah Haji Reguler yang telah dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat melakukan pelunasan Bipih setelah melapor ke Kantor Kementerian Agama.

BAB III
KUOTA HAJI

Pasal 23

(1) Menteri menetapkan Kuota Haji reguler.

(2) Kuota Haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi menjadi Kuota Haji provinsi.

(3) Pembagian Kuota Haji provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada pertimbangan:
a. proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi; dan/atau
b. proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antarprovinsi.

Pasal 24

(1) Gubernur dapat membagi dan menetapkan Kuota Haji provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) ke dalam Kuota Haji kabupaten/kota didasarkan pada pertimbangan:
a. proporsi jumlah penduduk muslim kabupaten/kota; dan/atau
b. proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji di setiap kabupaten/kota.

(2) Dalam hal Kuota Haji provinsi dibagi dan ditetapkan ke dalam Kuota Haji kabupaten/kota, Gubernur menyampaikan pembagian dan penetapan Kuota Haji kabupaten/kota kepada Menteri.

(3) Pembagian dan penetapan Kuota Haji kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah penetapan Kuota Haji Indonesia.

(4) Dalam hal Gubernur tidak menyampaikan pembagian dan penetapan Kuota Haji provinsi ke dalam Kuota Haji kabupaten/kota dalam tenggat waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembagian Kuota Haji menggunakan proporsi Kuota Haji tahun sebelumnya.

Pasal 25

(1) Dalam menetapkan Kuota Haji reguler, Menteri memberi prioritas kuota kepada Jemaah Haji Reguler lanjut usia yang berusia paling rendah 65 (enam puluh lima) tahun dengan persentase tertentu.

(2) Pemberian prioritas kuota kepada Jemaah Haji Reguler lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara sistem berdasarkan:
a. urutan usia tertua dan/atau masa tunggu di masing-masing provinsi; dan
b. telah mendaftar paling singkat 5 (lima) tahun sebelum keberangkatan Jemaah Haji Kloter pertama.

Pasal 26

(1) Menteri menetapkan pengisian Kuota Haji dan masa pelunasan dana setoran lunas haji reguler.
(2) Pengisian kuota Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi:
a. Jemaah Haji Reguler tunda berangkat;
b. Jemaah Haji Reguler masuk alokasi kuota keberangkatan pada musim haji tahun berjalan; dan
c. prioritas Jemaah Haji Reguler lanjut usia.

(3) Dalam hal Kuota Haji reguler tidak terpenuhi pada hari penutupan pengisian Kuota Haji, Menteri dapat memperpanjang masa pengisian sisa kuota paling lama 30 (tiga puluh) Hari.

(4) Pengisian sisa Kuota Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan urutan:
a. Jemaah Haji Reguler yang saat pelunasan tahap sebelumnya mengalami kegagalan sistem;
b. Jemaah Haji Reguler pendamping Jemaah Haji Reguler lanjut usia;
c. Jemaah Haji Reguler terpisah dengan mahram atau keluarga;
d. Jemaah Haji Reguler penyandang disabilitas dan pendampingnya;
e. Jemaah Haji Reguler lunas tunda; dan
f. Jemaah Haji Reguler pada urutan berikutnya.

Pasal 27

(1) Jemaah Haji Reguler lanjut usia dapat didampingi 1 (satu) orang pendamping.

(2) Jemaah Haji Reguler lanjut usia yang dapat didampingi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pendamping Jemaah Haji Reguler lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki hubungan keluarga sebagai anak kandung atau menantu;
b. telah mendaftar paling singkat 5 (lima) tahun sebelum keberangkatan Jemaah Haji Reguler Kloter pertama; dan
c. terdaftar dalam 1 (satu) provinsi yang sama dengan Jemaah Haji Reguler lanjut usia yang didampingi.

(4) Jemaah Haji Reguler terpisah dengan mahram atau keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf c harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki hubungan sebagai suami, istri, anak kandung, saudara kandung, atau orang tua kandung;
b. Jemaah Haji Reguler yang akan digabung telah melakukan pelunasan Bipih pada tahap kesatu;
c. Jemaah Haji Reguler yang menggabung telah terdaftar paling singkat 5 (lima) tahun sebelum keberangkatan Jemaah Haji Reguler Kloter pertama; dan
d. terdaftar dalam 1 (satu) provinsi yang sama dengan Jemaah Haji Reguler yang akan digabung.

(5) Jemaah Haji Reguler penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d memiliki kriteria:
a. mengalami keterbatasan fisik, mental, intelektual, dan/atau sensorik yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan
b. telah terdaftar paling singkat 5 (lima) tahun sebelum keberangkatan Jemaah Haji Reguler Kloter pertama.

(6) Pendamping Jemaah Haji Reguler penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf d harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki hubungan keluarga sebagai suami, istri, anak kandung, saudara kandung, dan menantu;
b. telah terdaftar paling singkat 5 (lima) tahun sebelum keberangkatan Jemaah Haji Reguler Kloter pertama; dan
c. terdaftar dalam 1 (satu) provinsi yang sama dengan Jemaah Haji Reguler penyandang disabilitas.

Pasal 28

(1) Dalam hal terdapat penambahan Kuota Haji Indonesia setelah Kuota Haji ditetapkan, Menteri menetapkan Kuota Haji tambahan.

(2) Penetapan Kuota Haji tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai penetapan masa pelunasan Bipih.

(3) Penetapan Kuota Haji tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
a. proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi; dan/atau
b. proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antarprovinsi.

(4) Pengisian Kuota Haji tambahan diperuntukan bagi:
a. Jemaah Haji Reguler berdasarkan urutan nomor porsi berikutnya; dan/atau
b. Jemaah Haji Reguler lanjut usia dan pendampingnya.

(5) Jemaah Haji Reguler lanjut usia yang dapat didampingi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

(1) Nomor Porsi Jemaah Haji Reguler sakit permanen atau meninggal dunia sebelum keberangkatan dapat dilimpahkan kepada suami, istri, ayah, ibu, anak kandung, atau saudara kandung.

(2) Pengajuan permohonan pelimpahan Nomor Porsi bagi Jemaah Haji Reguler sakit permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan dokumen:
a. asli surat keterangan dokter tentang sakit permanen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. surat pendaftaran haji atau bukti setoran awal dan/atau setoran lunas Bipih bagi Jemaah Haji yang Nomor Porsinya tercantum dalam bukti setoran awal;
c. asli surat kuasa penunjukan pelimpahan Nomor Porsi Jemaah Haji Reguler sakit permanen yang ditandatangani oleh suami, istri, ayah, ibu, anak kandung, atau saudara kandung yang diketahui oleh kepala desa/lurah;
d. fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga Jemaah Haji Reguler penerima pelimpahan Nomor Porsi;
e. fotokopi akte kelahiran/surat kenal lahir, akta nikah, atau bukti lain Jemaah Haji Reguler penerima pelimpahan Nomor Porsi dengan menunjukkan aslinya; dan
f. surat pernyataan tanggung jawab Jemaah Haji Reguler penerima pelimpahan.

(3) Pengajuan pelimpahan Nomor Porsi bagi Jemaah Haji Reguler yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap Hari dengan melampirkan persyaratan:
a. salinan akta kematian dari instansi pemerintah daerah yang membidangi urusan kependudukan dan catatan sipil setempat;
b. surat pendaftaran haji atau bukti setoran awal dan/atau setoran lunas Bipih bagi Jemaah Haji Reguler yang Nomor Porsinya tercantum dalam bukti setoran awal;
c. asli surat kuasa penunjukan pelimpahan Nomor Porsi Jemaah Haji Reguler yang meninggal dunia yang ditandatangani oleh suami/istri, ayah, ibu, anak kandung, atau saudara kandung yang diketahui oleh kepala desa/lurah;
d. fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga Jemaah Haji Reguler penerima pelimpahan Nomor Porsi;
e. fotokopi akte kelahiran/surat kenal lahir, akta nikah, atau bukti lain Jemaah Haji Reguler penerima pelimpahan Nomor Porsi dengan menunjukkan aslinya; dan
f. surat pernyataan tanggung jawab Jemaah Haji Reguler penerima pelimpahan.

(4) Pengajuan permohonan pelimpahan Nomor Porsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Kantor Kementerian Agama tempat Jemaah Reguler Haji mendaftar.

(5) Pelimpahan Nomor Porsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan 1 (satu) kali pelimpahan.

Pasal 30

Dalam hal Jemaah Haji Reguler wafat atau sakit permanen memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Porsi, pelimpahan Nomor Porsi hanya diberikan 1 (satu) Nomor Porsi untuk pemberangkatan terdekat dan Nomor Porsi lain dibatalkan.

Pasal 31

(1) Jemaah Haji Reguler yang meninggal dunia setelah masuk asrama haji Embarkasi antara atau asrama haji Embarkasi sebelum keberangkatan, Nomor Porsinya tidak dapat dilimpahkan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Jemaah Haji Reguler setelah masuk asrama haji Embarkasi antara atau asrama haji Embarkasi mengalami sakit dan meninggal dunia setelah masa pemberangkatan berakhir.

BAB IV
PEMBINAAN JEMAAH HAJI

Bagian Kesatu
Pembinaan Ibadah Haji

Pasal 32

(1) Direktur Jenderal melaksanakan pembinaan ibadah haji kepada Jemaah Haji Reguler.

(2) Pembinaan ibadah haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terencana, terstruktur, terukur, dan terpadu.

(3) Pembinaan ibadah haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. penyuluhan; dan 
b. pembimbingan.

(4) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diberikan oleh perseorangan yang memiliki sertifikat pembimbing ibadah, perseorangan yang memiliki pengetahuan manasik haji dan/atau KBIHU.

(5) Pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan oleh KBIHU dan/atau perseorangan yang memiliki sertifikat sebagai pembimbing ibadah.

Pasal 33

Pembinaan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 paling sedikit meliputi fikih haji, kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji, hikmah haji, serta hak dan kewajiban Jemaah Haji Reguler.

Pasal 34

(1) Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf a diberikan kepada Jemaah Haji Reguler daftar tunggu dan dapat diikuti oleh masyarakat.

(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sepanjang tahun secara langsung dan/atau tidak langsung.

Pasal 35

(1) Pembimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf b diberikan kepada Jemaah Haji Reguler.

(2) Pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembimbingan:
a. di Indonesia;
b. dalam perjalanan; dan 
c. di Arab Saudi.

(3) Pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

(4) Pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh pembimbing Ibadah Haji bersertifikat.

Bagian Kedua
Pembinaan Kesehatan Haji

Pasal 36

(1) Direktur Jenderal bertanggung jawab mengoordinasikan pelaksanaan pembinaan kesehatan kepada Jemaah Haji Reguler.

(2) Pembinaan kesehatan kepada Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

(3) Pembinaan kesehatan kepada Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara terencana, terstruktur, terukur, dan terpadu.

Pasal 37

(1) Pembinaan kesehatan haji diberikan kepada:
a. Jemaah Haji Reguler daftar tunggu; dan
b. Jemaah Haji Reguler berhak lunas Bipih tahun berjalan.

(2) Pembinaan kesehatan haji kepada Jemaah Haji Reguler daftar tunggu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan di Indonesia.

(3) Pembinaan kesehatan haji kepada Jemaah Haji Reguler berhak lunas Bipih tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan:
a. di Indonesia;
b. dalam perjalanan; dan
c. di Arab Saudi.

Pasal 38

Pembinaan kesehatan haji kepada Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal 39

Pelaksanaan pembinaan kesehatan haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilaporkan kepada Menteri secara berjenjang.

BAB V
KUOTA PEMBIMBING KELOMPOK BIMBINGAN IBADAH HAJI DAN UMRAH

Pasal 40

(1) Menteri memberikan kuota pembimbing Ibadah Haji kepada KBIHU setelah memenuhi persyaratan.

(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memiliki pembimbing yang telah lulus seleksi dan memenuhi standar pembimbing; dan
b. memperoleh Jemaah Haji Reguler paling sedikit 135 (seratus tiga puluh lima) orang untuk 1 (satu) orang pembimbing.

(3) Pembimbing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memiliki sertifikat sebagai pembimbing Ibadah Haji dan tidak masuk dalam daftar Jemaah Haji yang berangkat tahun berjalan.

(4) Dalam hal KBIHU memiliki peserta bimbingan kurang dari 135 (seratus tiga puluh lima) orang, KBIHU dapat bergabung dengan KBIHU lain untuk mendapatkan kuota 1 (satu) pembimbing dengan persyaratan:
a. penggabungan paling banyak 3 (tiga) KBIHU dalam satu kabupaten/kota;
b. melampirkan daftar peserta bimbingan penggabungan dalam satu kabupaten/kota sesuai domisili KBIHU yang masuk daftar berangkat haji tahun berjalan yang telah melunasi Bipih dan terdaftar pada Siskohat; dan
c. surat keterangan penggabungan yang ditandatangani bersama oleh KBIHU dan diketahui oleh Kantor Kementerian Agama.

(5) Surat keterangan penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c wajib mencantumkan nama pembimbing yang disepakati untuk diusulkan.

Pasal 41

Pembimbing Ibadah Haji harus memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun pada saat keberangkatan Jemaah Haji Kloter pertama;
d. memiliki kartu tanda penduduk;
e. memiliki kartu keluarga;
f. memiliki surat keterangan istithaah kesehatan;
g. memiliki rekening atas nama pembimbing pada BPS Bipih;
h. terdaftar sebagai pembimbing KBIHU; dan i. memiliki sertifikat pembimbing.

Pasal 42

Pembimbing Ibadah Haji harus memenuhi standar kualifikasi:
a. pendidikan paling rendah sarjana/yang sederajat atau lulusan pesantren;
b. memahami fikih haji;
c. telah melaksanakan ibadah haji;
d. memiliki kemampuan memimpin; dan
e. memiliki akhlakul karimah.

Pasal 43

(1) KBIHU mengajukan permohonan calon pembimbing kepada Kepala Kantor Kementerian Agama dengan melampirkan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.

(2) Kepala Kantor Kementerian Agama melakukan seleksi administrasi melalui verifikasi dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam hal verifikasi dokumen dinyatakan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Kepala Kantor Kementerian Agama meminta KBIHU untuk memenuhi persyaratan.

(4) Dalam hal verifikasi dokumen dinyatakan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Kepala Kantor Kementerian Agama menyampaikan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah.

(5) Kepala Kantor Wilayah menyampaikan permohonan Pembimbing kepada Direktur Jenderal.

(6) Direktur Jenderal menetapkan Keputusan tentang penetapan Pembimbing KBIHU.

(7) Salinan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada:
a. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama;
b. Kepala Kantor Kementerian Agama dengan tembusan; dan
c. KBIHU.

Pasal 44

(1) Kepala Kantor Kementerian Agama memberitahukan kepada pembimbing yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6) untuk menyelesaikan proses pendaftaran dan melakukan pembayaran Bipih Pembimbing pada BPS Bipih sesuai ketentuan prosedur pembayaran Bipih.

(2) Pembimbing menyerahkan bukti pembayaran Bipih kepada Kantor Kementerian Agama.

BAB VI
PETUGAS PENYELENGGARA IBADAH HAJI

Pasal 45

(1) Menteri membentuk PPIH.

(2) PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur:
a. kementerian/lembaga terkait;
b. masyarakat;

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. organisasi kemasyarakatan Islam;
b. lembaga pendidikan Islam; dan/atau
c. tenaga professional.

(4) Pembentukan PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.

Pasal 46

(1) PPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) terdiri atas :
a. PPIH pusat;
b. PPIH Arab Saudi;
c. PPIH Embarkasi; dan 
d. PPIH Kloter.

(2) PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c terdiri atas:
a. unsur pimpinan; dan
b. unsur pelaksana.

(3) Unsur pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi:
a. penanggung jawab;
b. wakil penangung jawab;
c. pengendali teknis;
d. ketua;
e. wakil ketua;
f. sekretaris;
g. wakil sekretaris;
h. kepala bidang;
i. kepala daerah kerja;
j. sekretaris daerah kerja;
k. kepala seksi;
l. kepala sektor; dan 
m. sekretaris sektor.

(4) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
a. pelaksana layanan akomodasi;
b. pelaksana layanan konsumsi;
c. pelaksana layanan transportasi;
d. pelaksana layanan bimbingan ibadah; dan
e. pelaksana layanan kesehatan;

(5) PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas:
a. ketua kloter;
b. pembimbing ibadah haji; dan 
c. tenaga kesehatan haji.

Pasal 47

PPIH harus memenuhi syarat:
a. beragama Islam;
b. memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang penyelenggaraan Ibadah Haji;
c. memiliki dokumen yang sah;
d. PPIH yang bertugas memberikan bimbingan Ibadah Haji harus sudah melaksanakan Ibadah Haji; dan
e. lulus seleksi dan/atau penunjukan sesuai kebutuhan.

Pasal 48

(1) Persyaratan khusus bagi Ketua Kloter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) huruf a berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun pada saat mendaftar.

(2) Persyaratan khusus pembimbing ibadah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) huruf b meliputi:
a. berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat mendaftar; dan
b. memiliki sertifikat pembimbing ibadah.

(3) Persyaratan khusus tenaga kesehatan haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) huruf c meliputi:
a. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun pada saat mendaftar; dan
b. memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

(1) PPIH Pusat, PPIH Embarkasi, dan PPIH Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dapat dibantu Pendukung PPIH.

(2) PPIH Arab Saudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibantu tim perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi.

(3) Rekrutmen Pendukung PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui mekanisme seleksi dan/atau penunjukan.

Pasal 50

(1) PPIH Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a mengoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi PPIH Embarkasi dan PPIH Arab Saudi.

(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPIH Pusat membentuk pusat layanan operasional haji di salah satu Embarkasi.

(3) PPIH Embarkasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan, pelayanan, dan pelindungan Jemaah Haji serta mengoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi PPIH Kloter di wilayah Embarkasi.

(4) PPIH Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan, pelayanan, dan pelindungan Jemaah Haji serta mengoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi PPIH Kloter di Arab Saudi.

(5) PPIH Kloter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf d melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan, pelayanan, dan pelindungan Jemaah Haji di Kloter, serta membantu tugas dan fungsi PPIH Embarkasi dan PPIH Arab Saudi.

Pasal 51

Direktur Jenderal menetapkan mekanisme seleksi dan/atau penunjukan PPIH.

Pasal 52

(1) Gubernur atau bupati/walikota dapat mengusulkan calon PHD kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.

(2) Dalam hal pengusulan calon PHD dilakukan oleh bupati/walikota disampaikan melalui gubernur.

(3) Calon PHD yang diusulkan sebanyak 2 (dua) kali alokasi kuota PHD.

(4) Gubernur menyampaikan usulan calon PHD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak kuota haji Indonesia ditetapkan.

(5) Dalam hal Gubernur tidak menyampaikan usulan calon PHD atau melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), alokasi kuota PHD dikembalikan kepada kuota Jemaah Haji.

(6) Dalam hal Gubernur menyampaikan usulan calon PHD kurang dari 2 (dua) kali alokasi kuota PHD, alokasi kuota PHD dihitung secara proporsional dan sisa kuota PHD dikembalikan menjadi kuota Jemaah Haji.

Pasal 53

(1) Calon PHD yang diusulkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diseleksi oleh Menteri.

(2) Seleksi calon PHD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah.

(3) Kepala Kantor Wilayah menyampaikan hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal untuk mengikuti bimbingan teknis.

(4) Calon PHD yang telah mengikuti bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan dinyatakan memenuhi syarat ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 54

(1) Calon PHD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 terdiri atas:
a. petugas pelayanan umum;
b. petugas pembimbing Ibadah Haji yang berasal dari KBIHU atau organisasi kemasyarakatan Islam; dan 
c. petugas pelayanan kesehatan.

(2) Calon PHD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. beragama Islam;
b. memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang penyelenggaraan Ibadah Haji;
c. memiliki dokumen yang sah; dan 
d. lulus seleksi.

Pasal 55

Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dibuktikan dengan dokumen:
b. kartu tanda penduduk;
c. surat keterangan sehat dan bebas narkotika dan penggunaan zat adiktif dari pusat kesehatan masyarakat atau rumah sakit Pemerintah;
d. pakta integritas;
e. surat keterangan catatan kepolisian; dan
f. sertifikat pembimbing manasik untuk PHD bidang pembimbing ibadah haji dan surat tanda registrasi dan surat izin praktik sebagai dokter atau tenaga keperawatan untuk PHD bidang kesehatan.

Pasal 56


(1) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, PHD di bidang pelayanan bimbingan ibadah harus memenuhi persyaratan:
a. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun pada saat mendaftar;
b. sudah menunaikan Ibadah Haji;
c. berasal dari unsur KBIHU atau unsur organisasi kemasyarakatan Islam; dan
d. diutamakan mampu berbahasa Arab dan/atau Inggris.

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, PHD di bidang pelayanan umum harus memenuhi persyaratan:
a. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun pada saat mendaftar;
b. paling rendah berpendidikan sarjana atau sederajat;
c. memiliki kemampuan manajerial;
d. memahami peraturan perhajian, ilmu manasik haji, dan alur perjalanan Ibadah Haji;
e. dapat membaca Al-Qur’an; dan
f. diutamakan mampu berbahasa Arab dan/atau Inggris.

(3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, PHD di bidang pelayanan kesehatan harus memenuhi persyaratan:
a. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun pada saat mendaftar;
b. berprofesi sebagai dokter atau tenaga keperawatan;
c. diutamakan sudah menunaikan Ibadah Haji; dan
d. diutamakan mampu berbahasa Arab dan/atau Inggris.

Pasal 57

Kuota PHD menggunakan kuota haji reguler.

Pasal 58

Biaya operasional PHD dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 59

Prosedur Pendaftaran haji bagi PHD:
a. petugas Kantor Wilayah menginput data PHD pada aplikasi Siskohat berdasarkan Keputusan Menteri tentang Penetapan PHD;
b. PHD melakukan perekaman foto di Kantor Wilayah;
c. PHD menyampaikan nomor rekening atas nama Pemerintah Daerah pada BPS Bipih yang dipilih oleh Pemerintah Daerah; dan
d. PHD menerima lembar bukti surat pendaftaran haji.

Pasal 60

Pembayaran setoran awal dan setoran lunas Bipih PHD dilakukan dengan prosedur:
a. Pemerintah Daerah membayar setoran Bipih ke rekening BPKH melalui BPS Bipih yang dipilih oleh Pemerintah Daerah;
b. BPS Bipih menerbitkan bukti setoran Bipih; dan
c. BPS Bipih menyampaikan bukti setoran Bipih kepada Pemerintah Daerah dengan tembusan ke Kantor Wilayah.

Pasal 61

PPIH, PHD, dan pendukung PPIH diberikan bimbingan teknis sebelum melaksanakan tugasnya.

Pasal 62

Panitia penyelenggara ibadah haji daerah dapat dibentuk oleh Gubernur atau Bupati/Walikota.

BAB VII
PELAYANAN DOKUMEN DAN IDENTITAS HAJI

Pasal 63

(1) Setiap Jemaah Haji Reguler, PPIH Arab Saudi, PPIH Kloter, dan PHD yang akan diberangkatkan ke Arab Saudi harus memiliki dokumen perjalanan Ibadah Haji berupa paspor dan Visa Haji, serta identitas lain yang dibutuhkan.

(2) Pengurusan penerbitan paspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Jemaah Haji Reguler, PPIH Arab Saudi, PPIH Kloter, dan PHD yang bersangkutan atau dikoordinasikan oleh Kementerian.

(3) Pengurusan penyelesaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktorat Jenderal.

BAB VIII
PELAYANAN TRANSPORTASI JEMAAH HAJI

Pasal 64

(1) Menteri bertanggung jawab memberikan pelayanan transportasi kepada Jemaah Haji Reguler selama penyelenggaraan Ibadah Haji.

(2) Pelayanan transportasi kepada Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi transportasi dari Embarkasi pemberangkatan menuju Arab Saudi, selama di Arab Saudi, dan pemulangan ke tempat Embarkasi asal di Indonesia.

Pasal 65

(1) Transportasi Jemaah Haji Reguler daerah asal ke Embarkasi dan/atau dari Debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

(2) Pelaksanaan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada jadwal pemberangkatan dan pemulangan Jemaah Haji Reguler ke dan dari Arab Saudi.

Pasal 66

(1) Transportasi Jemaah Haji Reguler dari Embarkasi ke Arab Saudi dan dari Arab Saudi ke Debarkasi menggunakan transportasi udara.

(2) Pelaksana transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan transportasi udara paling sedikit meliputi:
a. persyaratan administratif;
b. persyaratan teknis;
c. standar kelaikudaraan dan keselamatan;
d. jenis dan kapasitas pesawat yang akan dioperasikan; dan
e. standar pelayanan.

(3) Pelaksana transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.

Pasal 67

(1) Penyusunan jadwal transportasi udara Jemaah Haji Reguler dari Embarkasi ke Arab Saudi dan dari Arab Saudi ke Debarkasi mengacu pada rencana perjalanan haji.

(2) Rencana perjalanan haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Ta’limatul Hajj.

(3) Rencana perjalanan haji dan jadwal transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 68

(1) Keberangkatan Jemaah Haji Reguler Embarkasi ke Arab Saudi dilakukan sesuai dengan domisili Jemaah Haji mendaftar.

(2) Dalam hal Jemaah Haji Reguler tidak berangkat dari Embarkasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jemaah Haji Reguler dapat mengajukan mutasi Embarkasi.

(3) Mutasi Embarkasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan alasan:
a. pindah domisili;
b. penggabungan suami, istri, anak kandung, saudara kandung, atau orang tua kandung; atau
c. kedinasan.

Pasal 69


(1) Transportasi Jemaah Haji Reguler selama di Arab Saudi diberikan dalam bentuk transportasi darat yang meliputi transportasi:
a. antarkota dengan rute Madinah, Makkah, dan Jeddah;
b. masyair dengan rute Makkah, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Makkah; dan
c. shalawat dengan rute akomodasi ke dan dari Masjidil Haram.

(2) Pelaksanaan pelayanan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Arab Saudi.

Pasal 70

(1) Pemulangan Jemaah Haji Reguler dari Arab Saudi ke Debarkasi menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat melalui pihak penerbangan.

(2) Dalam hal operasional haji telah selesai dan masih terdapat Jemaah Haji Reguler dirawat di Arab Saudi, pemulangan Jemaah Haji Reguler menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat melalui pihak penerbangan sampai ke provinsi Jemaah Haji Reguler.

BAB IX
PELAYANAN AKOMODASI DAN KONSUMSI

Pasal 71

(1) Menteri menyediakan akomodasi bagi Jemaah Haji Reguler, PPIH, dan pendukung PPIH.

(2) Akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan saat di tanah air dan/atau di Arab Saudi.

Pasal 72

(1) Akomodasi bagi Jemaah Haji Reguler dan PPIH saat di tanah air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 disediakan selama berada di asrama haji Embarkasi atau asrama haji Embarkasi antara.

(2) Akomodasi bagi Jemaah Haji Reguler, PPIH Arab Saudi, PPIH Kloter, dan Pendukung PPIH Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 selama berada di Arab Saudi disediakan saat di Makkah, Madinah, Jeddah, Arafah dan Mina.

(3) Akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperhatikan aspek keamanan, kenyamanan, kemudahan akses ke dan dari Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah, dan kesehatan serta peraturan Pemerintah Arab Saudi.

Pasal 73

(1) Menteri menyediakan konsumsi bagi Jemaah Haji Reguler, PPIH, dan pendukung PPIH.

(2) Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan saat di tanah air dan/atau di Arab Saudi.

Pasal 74

(1) Konsumsi bagi Jemaah Haji Reguler PPIH di Tanah Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 disediakan selama berada di asrama haji Embarkasi atau asrama haji Embarkasi antara.

(2) Konsumsi bagi Jemaah Haji Reguler, PPIH Arab Saudi, PPIH Kloter dan Pendukung PPIH Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 disediakan selama berada di Arab Saudi meliputi konsumsi di Makkah, Madinah, Jeddah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Pasal 75

Konsumsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 harus memenuhi standar kesehatan, kebutuhan gizi, tepat waktu, tepat jumlah, dan cita rasa Indonesia

BAB X
PELINDUNGAN JEMAAH HAJI DAN PETUGAS HAJI

Pasal 76

(1) Menteri memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji Reguler, PPIH dan pendukung PPIH sebelum, selama, dan setelah Jemaah Haji, PPIH dan pendukung PPIH melaksanakan Ibadah Haji.

(2) Pelindungan kepada Jemaah Haji Reguler, PPIH dan pendukung PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pelindungan:
a. warga negara Indonesia di luar negeri;
b. hukum;
c. keamanan; dan
d. jiwa, kecelakaan, dan kesehatan.

(3) Dalam memberikan pelindungan kepada Jemaah Haji Reguler, PPIH dan pendukung PPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.

Pasal 77

(1) Pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) huruf d diberikan dalam bentuk asuransi.

(2) Masa pertanggungan asuransi bagi Jemaah Haji Reguler dimulai sejak Jemaah Haji Reguler masuk asrama haji Embarkasi atau Embarkasi antara untuk pemberangkatan sampai keluar asrama haji Debarkasi atau Debarkasi antara untuk kepulangan.

(3) Masa pertanggungan asuransi bagi PPIH dimulai sejak PPIH masuk asrama haji Embarkasi atau Embarkasi Antara untuk pemberangkatan sampai keluar asrama haji Debarkasi atau Debarkasi antara untuk kepulangan.

(4) Masa pertanggungan asuransi bagi pendukung PPIH Arab Saudi dimulai sejak pendukung PPIH Arab Saudi mulai bekerja sampai dengan selesai sesuai masa kerja pelaksanaan tugas.

Pasal 78

(1) Ketentuan masa pertanggungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 77 ayat (2) tidak berlaku bagi:
a. Jemaah Haji Reguler yang meninggal melewati masa operasional haji karena sakit dan dirawat di Arab Saudi; atau
b. Jemaah Haji Reguler setelah masuk asrama haji Embarkasi atau Embarkasi antara dan telah menerima biaya hidup mengalami sakit sehingga harus dirawat dan meninggal sampai dengan masa fase pemberangkatan berakhir.

(2) Jemaah Haji Reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan asuransi.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 79

(1) Biaya hidup Jemaah Haji dibayarkan kepada Jemaah Haji pada saat Jemaah Haji telah masuk asrama haji Embarkasi atau Embarkasi Antara.

(2) Dalam hal Jemaah Haji setelah masuk asrama haji embarkasi atau embarkasi antara dan telah menerima biaya hidup mengalami sakit sehingga harus dirawat sampai dengan masa operasional berakhir, Nomor Porsi Jemaah Haji dapat dibatalkan atau dilimpahkan setelah biaya hidup dikembalikan kepada Menteri.

Pasal 80

(1) Jemaah Haji disafariwukufkan apabila memiliki kriteria yang telah ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

(2) Jemaah Haji dibadalhajikan apabila:
a. meninggal dunia di asrama haji Embarkasi atau Embarkasi antara, perjalanan keberangkatan ke Arab Saudi, atau di Arab Saudi sebelum wukuf di Arafah;
b. sakit dan tidak dapat disafariwukufkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
c. mengalami gangguan jiwa.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 81

Warga negara asing yang telah terdaftar sebagai Jemaah Haji sebelum Undang Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah berlaku serta mempunyai hubungan hukum sebagai suami/istri atau anak yang sah dari Warga Negara Indonesia yang telah terdaftar sebagai Jemaah Haji, dapat diberangkatkan melaksanakan ibadah haji.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 82

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 168) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 392), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 83

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2021

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YAQUT CHOLIL QOUMAS

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2021

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd. 
BENNY RIYANTO

    Download PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler

    Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:

    Download PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler.pdf

    Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file PERMENAG Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler. Semoga bisa bermanfaat.

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel