Fatwa MUI Tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19

Berikut ini adalah berkas Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19. Download file format PDF.

Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19
Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19

Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19

Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19:

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 18 Tahun 2020
Tentang
PEDOMAN PENGURUSA N JENAZAH (TAJHIZA L- JANA’ IZ ) MUSLIM YANG TERINFEKSI COVID-19

Bissmillahirrahmanirrahim

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :

MENIMBANG : 

a. bahwa COVID-19 termasuk jenis penyakit berbahaya dan dapat menular kepada yang melakukan kontak dengan orang yang terpapar COVID-19 atau cara penularan lainnya;

b. bahwa ketika pasien COVID-19 meninggal, maka virusnya masih ada di tubuhnya dan berbahaya yang dapat menular kepada orang yang melakukan kontak dengan jenazah tersebut dalam proses pengurusannya;

c. bahwa muncul pertanyaan tentang tata cara pengurusan jenazah muslim pasien COVID-19 yang meliputi memandikan, mengafani, menyalatkan, dan mengebumikan sebagaimana aturan syariat terhadap jenazah pada umumnya;

d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Jana’iz) Muslim yang Terinfeksi COVID-19;

MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT:

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” . (QS. al-Isra’ [17]: 70)

… dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan … (QS. al-Baqarah [2]: 195)

… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu… (QS. al-Baqarah [2]: 185)


… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan … (QS. al-Hajj [22]: 78)

2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Rasulullah Saw. bertanya (kepada sahabatnya): “Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian?” Mereka menjawab: “Orang yang gugur di

medan perang itulah syahid ya Rasulullah’’. Rasulullah Saw.

bersabda: “Kalau begitu, alangkah sedikit umatku yang mati syahid”. Para sahabat bertanya: “Mereka itu siapa ya Rasul?” Rasulullah Saw. menjawab: “Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang mati di jalan Allah (bukan karena perang) juga syahid, orang yang tertimpa tha’un (wabah) pun syahid, dan orang yang mati karena sakit perut juga syahid”. (HR Muslim).
Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda : “lima hal yang wajib dilakukan seorang muslim terhadap saudaranya; yaitu menjawab salam, mendoakan orang bersin, menghadiri undangannya, mengunjungi orang sakit, dan mengantarkan jenazahnya”. (HR. Muslim)

Dari Aisyah ra. ia berkata: Ketika para sahabat ingin memandikan jenazah Rasulullah Saw., -mereka berbeda pendapat. Mereka berkata: “Kami tidak tahu apakah kami membuka pakaiannya sebagaiman kami membuka pakaian saudara2 kami yang meninggal atau kami memandikannya dengan tanpa melepas bajunya?” Ketika mereka sedang berselisih pendapat, Allah telah menidurkan mereka sampai sampai dagu mereka tertunduk ke dada. Kemudian berkata seseorang dari sebelah rumah dan mereka tidak mengetahui siapa dia, dia berkata: “Mandikanlah Nabi dengan berpakaian”. (HR. Abu Daud)

“Barangsiapa yang memandikan seorang mayit, lalu ia merahasiakan keburukan mayit itu, maka Allah ampuni dia sebanyak empat puluh kali.” (HR. Al Hakim)

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. pernah kehilangan seorang wanita atau pemuda berkulit hitam yang biasa menyapu sampah di masjid, beliau Saw. pun bertanya tentangnya, dan dijawab bahwa ia telah meninggal. Beliau Saw. berkata: “Tidakkah kalian mengabarkan kepadaku?” Abu Hurairah ra.: “Seolah-olah mereka meremehkan kedudukan wanita atau pemuda tersebut.” Maka Nabi Saw. berkata: “Tunjukkan kepadaku kuburannya!” Mereka pun menunjukkannya, lalu beliau Saw. menshalatinya (yakni shalat atas jenazahnya) dan bersabda: “Sesungguhnya kuburan ini penuh kegelapan bagi penghuninya, tetapi Allah meneranginya untuk mereka dengan doaku buat mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafadh Muslim).

Dari Aisyah ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya saat hidup”. (HR. Ibnu Majah)

Abu Hurairah ra. mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Apa saja yang aku larang kamu melakukannya, hendaklah kamu jauhi, dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena mereka banyak bertanya dan tidak patuh dengan nabi-nabi mereka.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “sesungguhnya Allah suka untuk dilakukan rukhsah-Nya, sebagaimana Allah membenci apabila maksiat dilakukan”. (HR. Ahmad)

Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri ra., Rasûlullâh Saw. bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain”. (HR. al-Dâraquthni, al-Baihaqi, al- Hakim)

3. Qaidah Fiqhiyyah

“Kemudharatan harus dihilangkan”

“Menolak mafsadah didahulukan dari pada mecari kemaslahatan”.

“Kesulitan menyebabkan adanya kemudahan”

“Kemudharatan harus dicegah dalam batas-batas yang memungkinkan”

“Kemudlaratan dibatasi sesuai kadarnya”.

“Menghormati orang hidup dan menjaga jiwanya itu lebih

utama dari pada menghormati orang mati”

MEMPERHATIKAN : 

1. Pendapat al-Nawawi dalam kitab Syarah al - Nawawi‘ a l a Muslim:

Ulama mengatakan: “Bahwa yang dimaksud dengan kesyahidan mereka semua, selain yang gugur di medan perang adalah mereka kelak (di akhirat) menerima pahala sebagaimana pahala para syuhada yang gugur di medan perang. Sedangkan di dunia, mereka tetap dimandikan dan dishalati sebagaimana penjelasan telah lalu pada bab Iman. Sesungguhnya orang mati syahid ada tiga macam. Pertama, syahid di dunia dan di akhirat yaitu mereka yang gugur di medan perang melawan tentara kafir. Kedua, syahid di akhirat, tapi tidak syahid dalam hukum dunia yaitu mereka semua yang disebut dalam penjelasan di ini. Ketiga, syahid di dunia tidak di akhirat yaitu mereka yang gugur tetapi berbuat curang terhadap ghanimah atau gugur saat melarikan diri dari medan perang”.

2. Pendapat al-Nawawi dalam al-Majmu Syarah al-Muhadzab, Juz 5, h. 128.

Memandikan mayit adalah fardhu kifayah secara ijma’. Makna fardhu kifayah adalah apabila kewajiban itu sudah dilakukan oleh orang/kelompok yang dianggap mencukupi, maka gugurlah tanggungan bagi yang lain. Jika sama sekali tidak ada yang melakukan, maka semuanya berdosa. Ketahuilah, sesungguhnya memandikan mayit, mengafaninya, menshalatinya adalah fardhu kifayah tanpa khilaf.

3. Pendapat Salim bin Abdullah Al-Hadrami dalam Sullamu al-Taufiq h. 36-38 Memandikan mayit, mengafani, menyhalati dan menguburkannya adalah fardlu kifayah. Hal itu jika mayit adalah seorang yang beragama Islam yang lahir dalam keadaan hidup. Sedangkan mayit kafir dzimmy hanya wajib untuk dikafani dan dikubur, begitu juga janin yang (belum mencapai umur 6 bulan dan lahir) dalam keadaan mati, hanya wajib untuk dimandikan, dikafani, dikuburkan dan keduanya tidak boleh disholati. Batas minimal memandikan mayit adalah dengan menghilangkan najis dan meratakan air yang menyucikan ke seluruh kulit dan rambutnya walaupun lebat. Batas minimal menguburkan mayit adalah galian/liang yang mampu menyembunyikan bau mayit dan menjaga tubuh mayit dari binatang buas. Disunnahkan memperdalam liang, kira-kira seukuran berdirinya orang yang mengangkat tangan. Selain memperdalam, disunnahkan juga untuk memperluas liang, serta wajib menghadapkan mayit ke arah kiblat.

4. Pendapat Abdurrahman al-Jaziri dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid I, h. 476)
jika tidak ada air atau sulit untuk memandikan jenazah, maka jenazah ditayamumkan, seperti mati karena terbakar dan dikhawatirkan rontoknya anggota tubuh jika dimandikan atau dengan menyiramkan air tanpa menggosokkan organ tubuhnya. Jika tidak sampai merontokkan organ tubuh dengan menyiramkan air, maka tidak boleh ditayamumkan, tapi dimandikan dengan menyiramkan air tanpa menggosok.

5. Pendapat al-Nawawi al-Bantany dalam kitab Nihayatu al-Zain hal 151

Dalam memandikan mayit wajib menyamakan jenis kelaminnya. Misal mayit laki-laki maka yang memandikan adalah laki-laki, begitu juga sebaliknya kecuali orang yang telah dihalalkan dan para mahramnya. Jika tidak dijumpai seorangpun kecuali orang lain (ajnabi), maka mayit ditayamumkan.

6. Pendapat al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ juz 5 hal. 141-142
Jika seseorang tidak ada orang yang berjenis kelamin sama dan tidak mempunyai mahram, maka ada tiga hukum: 1) ditayamumkan, ini adalah pendapat jumhur, 2) dimandikan dengan tanpa melepas baju yang dipakai mayit dan berusaha untuk tidak melihat mayit, dan 3) langsung dikubur tanpa dimandikan dan ditayamumkan.

7. Pendapat Al-Khatib al-Syarbini dalam kitab Mughni al Muhtaj, juz:1 h:360).

Andaikan ada orang yang meninggal tertimpa reruntuhan, sebagaimana tenggelam di sumur atau di laut yang dalam dan sulit untuk mengeluarkan dan memandikannya serta mentayamuminya, maka tidak perlu dishalati karena tidak memenuhi syarat. Sebagaimana dinukil oleh syaikhani dari imam Mutawalli. Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ menyampaikan: ”Tidak ada perbedaan pendapat dalam perihal ini.” Sebagian ulama’ muta’akhirin menyampaikan pendapat:

“Tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat mayit. Karena sesuatu yang mudah tidak bisa gugur akibat sesuatu yang sulit. Berlandaskan hadits shahih: “Ketika kalian semua kuberiperintah, maka lakukan sebatas kemampuan kalian.” Alasan tetap harus dishalati adalah karena shalat merupakan doa dan penolong mayit.

8. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19.

9. Penjelasan Prof. Dr. Budi Sampurno (Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Prof. drh. Wiku Adisasmito (Ketua Tim Pakar Satgas COVID-19) pada tanggal 24 Maret 2020 yang diantaranya, bahwa pasien COVID-19 yang meninggal:

a. Langsung ditangani, dibersihkan kotorannya, ditutup lubang-lubang anggota tubuh dengan kapas, dikafani, dibungkus dengan plastik khusus supaya tidak bocor.

b. Jenazah kemudian diteruskan ke ruang jenazah untuk dimasukkan dalam peti. Dalam ruang pemulasaraan ini dibatasi sampai 4 jam, kemudian dimasukkan ke dalam mobil ambulan khusus untuk dibawa ke tempat makam.

c. Setelah dishalatkan jenazah diberangkatkan ke tempat pemakaman. Boleh dikubur di pemakaman umum, tetapi harus sesuai dengan protokol pengurusan jenazah (dikeluarkan oleh Kementerian Agama atau Pemerintah Daerah). Dalam protokol tersebut jarak liang kuburnya dengan sumber air minimal 50 meter dan jarak dengan pemukiman adalah 500 meter.

d. Semua aktifitas di atas dilakukan oleh petugas khusus dengan memakai alat pelindung diri (APD).
e. Bagi anggota keluarga yang ingin melihat dan menyalatkan serta menguburkan harus memakai alat pelindung diri.

f. Kami dan tim medis memerlukan uraian tentang tata cara memandikan, mengafani, dan menyalati jenazah.

10. Fatwa MUI nomor 34 tahun 2004 tentang Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Jana’iz) Dalam Keadaan Darurat

11. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Povinsi DKI Jakarta Nomor 01 tahun 2020 tentang Hukum dan Pedoman Penanganan Jenazah (Tajhiz al-Janazah) Terinfeksi COVID-19.

12. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam beberapa Sidang Komisi Fatwa yang berakhir pada tanggal 27 Maret 2020.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT 
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG PEDOMAN PENGURUSAN JENAZAH (TAJHIZ AL-JANA’IZ) MUSLIM YANG TERINFEKSI COVID-19

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
  1.  Petugas adalah petugas muslim yang melaksanakan pengurusan jenazah.
  2. Syahid akhirat adalah muslim yang meninggal dunia karena kondisi tertentu (antara lain karena wabah [tha’un], tenggelam, terbakar, dan melahirkan), yang secara syar’i dihukumi dan mendapat pahala syahid (dosanya diampuni dan dimasukkan ke surga tanpa hisab), tetapi secara duniawi hak- hak jenazah-nya tetap wajib dipenuhi yang meliputi dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan.
  3. APD (Alat Pelindung Diri) adalah alat pelindung diri yang digunakan oleh petugas yang melaksanakan pengurusan jenazah.

Kedua : Ketentuan Hukum
  1. Menegaskan kembali Ketentuan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 angka 7 yang menetapkan: “Pengurusan jenazah (tajhiz al-jana’iz) yang terpapar COVID-19, terutama dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar COVID-19.”
  2. Umat Islam yang wafat karena wabah COVID-19 dalam pandangan syara’ termasuk kategori syahid akhirat dan hak- hak jenazahnya wajib dipenuhi, yaitu dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan, yang pelaksanaannya wajib menjaga keselamatan petugas dengan mematuhi ketentuan-ketentuan protokol medis;
  3. Pedoman memandikan jenazah yang terpapar COVID-19 dilakukan sebagai berikut: a. Jenazah dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya; b. Petugas wajib berjenis kelamin yang sama dengan jenazah yang dimandikan dan dikafani; c. Jika petugas yang memandikan tidak ada yang berjenis kelamin sama, maka dimandikan oleh petugas yang ada, dengan syarat jenazah dimandikan tetap memakai pakaian. Jika tidak, maka ditayamumkan; d. Petugas membersihkan najis (jika ada) sebelum memandikan; e. Petugas memandikan jenazah dengan cara mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh; f. Jika atas pertimbangan ahli yang terpercaya bahwa jenazah tidak mungkin dimandikan, maka dapat diganti dengan tayamum sesuai ketentuan syariah, yaitu dengan cara: 1) Mengusap wajah dan kedua tangan jenazah (minimal sampai pergelangan) dengan debu. 2) Untuk kepentingan perlindungan diri pada saat mengusap, petugas tetap menggunakan APD. g. Jika menurut pendapat ahli yang terpercaya bahwa memandikan atau menayamumkan tidak mungkin dilakukan karena membahayakan petugas, maka berdasarkan ketentuan dlarurat syar’iyyah, jenazah tidak dimandikan atau ditayamumkan. 

4. Pedoman mengafani jenazah yang terpapar COVID-19 dilakukan sebagai berikut:

a. Setelah jenazah dimandikan atau ditayamumkan, atau karena dlarurah syar’iyah tidak dimandikan atau ditayamumkan, maka jenazah dikafani dengan menggunakan kain yang menutup seluruh tubuh dan dimasukkan ke dalam kantong jenazah yang aman dan tidak tembus air untuk mencegah penyebaran virus dan menjaga keselamatan petugas.

b. Setelah pengafanan selesai, jenazah dimasukkan ke dalam peti jenazah yang tidak tembus air dan udara dengan dimiringkan ke kanan sehingga saat dikuburkan jenazah menghadap ke arah kiblat.

c. Jika setelah dikafani masih ditemukan najis pada jenazah, maka petugas dapat mengabaikan najis tersebut.

5. Pedoman menyalatkan jenazah yang terpapar COVID-19 dilakukan sebagai berikut:
a. Disunnahkan menyegerakan shalat jenazah setelah dikafani.
b. Dilakukan di tempat yang aman dari penularan COVID-19.
c. Dilakukan oleh umat Islam secara langsung (hadhir) minimal satu orang. Jika tidak memungkinkan, boleh dishalatkan di kuburan sebelum atau sesudah dimakamkan. Jika tidak dimungkinkan, maka boleh dishalatkan dari jauh (shalat ghaib).
d. Pihak yang menyalatkan wajib menjaga diri dari penularan COVID-19.

6. Pedoman menguburkan jenazah yang terpapar COVID-19 dilakukan sebagai berikut:
a. Dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah dan protokol medis.
b. Dilakukan dengan cara memasukkan jenazah bersama petinya ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan kafan.
c. Penguburan beberapa jenazah dalam satu liang kubur dibolehkan karena darurat (al-dlarurah al-syar’iyyah) sebagaimana diatur dalam ketentuan Fatwa MUI nomor 34 tahun 2004 tentang Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Jana’iz) Dalam Keadaan Darurat.

Keempat : Ketentuan Penutup
  1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari membutuhkan penyempurnaan, akan disempurnakan sebagaimana mestinya.
  2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, semua pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini. 

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 2 S ya’b an 1441 H 27 Maret 2020 M

    Download Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19

    Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19 ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:

    Download Berkas Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19.pdf

    Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana'iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19. Semoga bisa bermanfaat.

    Baca juga:
    Fatwa MUI Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pemanfaatan Harta Zakat, Infak, dan Shadaqah Untuk Penanggulangan Wabah COVID-19 dan Dampaknya
    Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2020 Tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri Saat Pandemi COVID-19

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel