Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

Berikut ini adalah berkas Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Download file format PDF.

Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik:

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2020
TENTANG
KETENTUAN PERIZINAN USAHA, PERIKLANAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN PELAKU USAHA DALAM PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (5), Pasal 12 ayat (2), Pasal 15 ayat (4), Pasal 36, Pasal 77 ayat (3), Pasal 78 ayat (4), Pasal 79 ayat (2), dan Pasal 80 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik;

Mengingat :
  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran 2020, No. 498 Negara Republik Indonesia Nomor 4843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952);
  4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
  5. Undang-Undang 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512);
  7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6414);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 6215);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6400);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 222, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6420);
  11. Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2015 tentang Kementerian Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 90);
  12. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 203);
  13. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Pengawasan Kegiatan Perdagangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 338);
  14. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 813);
  15. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik di Bidang Perdagangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 107);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN PERIZINAN USAHA, PERIKLANAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN PELAKU USAHA DALAM PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.
  2. Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat PMSE adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
  3. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
  4. Pelaku Usaha Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disebut Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang dapat berupa Pelaku Usaha Dalam Negeri dan Pelaku Usaha Luar Negeri dan melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE.
  5. Pelaku Usaha Dalam Negeri adalah warga negara Indonesia atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE.
  6. Pelaku Usaha yang berkedudukan di Luar Negeri yang selanjutnya disebut Pelaku Usaha Luar Negeri adalah warga negara asing atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di luar wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE di wilayah negara Republik Indonesia.
  7. Penyelenggara Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat PPMSE adalah Pelaku Usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi Perdagangan.
  8. Pedagang (merchant) adalah Pelaku Usaha yang melakukan PMSE baik dengan sarana yang dibuat dan dikelola sendiri secara langsung atau melalui sarana milik pihak PPMSE, atau Sistem Elektronik lainnya yang menyediakan sarana PMSE.
  9. Penyelenggara Sarana Perantara (intermediary services) yang selanjutnya disingkat PSP adalah Pelaku Usaha Dalam Negeri atau Pelaku Usaha Luar Negeri yang menyediakan sarana komunikasi elektronik selain penyelenggara telekomunikasi yang hanya berfungsi sebagai perantara dalam komunikasi elektronik antara pengirim dengan penerima.
  10. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  11. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  12. Konsumen adalah setiap orang pemakai Barang dan/atau Jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
  13. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha.
  14. Jasa adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang diperdagangkan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha.
  15. Surat Izin Usaha Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat SIUPMSE adalah Izin Usaha untuk melaksanakan kegiatan usaha PMSE.
  16. Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing di bidang Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disebut SIUP3A bidang PMSE adalah Izin Usaha untuk melaksanakan kegiatan usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing di bidang PMSE.
  17. Izin Usaha adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran dan untuk memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen.
  18. Komitmen adalah pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.
  19. Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
  20. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
  21. Iklan Elektronik adalah informasi untuk kepentingan komersial atas Barang dan/atau Jasa melalui Komunikasi Elektronik yang dimuat dan disebarluaskan kepada pihak tertentu baik yang dilakukan secara berbayar maupun yang tidak berbayar.
  22. Ekonomi Kreatif adalah perwujudan nilai tambah dari kekayaan intelektual yang bersumber dari kreativitas manusia yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan, dan/atau teknologi.
  23. Pelaku Ekonomi Kreatif adalah orang perseorangan atau kelompok orang warga negara Indonesia atau badan usaha berbadan hukum atau bukan berbadan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan Ekonomi Kreatif.
  24. Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing di bidang Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disebut KP3A bidang PMSE adalah kantor yang dipimpin oleh 1 (satu) atau lebih perorangan warga negara Indonesia atau warga negara asing yang ditunjuk oleh PPMSE luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia.
  25. Surat Keterangan dari Atase Perdagangan Republik Indonesia atau Pejabat Perwakilan Republik Indonesia adalah surat keterangan mengenai data PPMSE luar negeri yang sekurang-kurangnya memuat nama perusahaan, tanggal pendirian, bentuk badan hukum, alamat kantor pusat dan kantor cabang serta bidang usaha yang diterbitkan oleh Atase Perdagangan Republik Indonesia atau Pejabat Perwakilan Republik Indonesia di negara prinsipal.
  26. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan.
  27. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal PDN adalah Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan.
  28. Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal PKTN adalah Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan.

BAB II PELAKU USAHA

Pasal 2

(1) Pelaku Usaha terdiri dari:
a. Pelaku Usaha Dalam Negeri yang meliputi:
  1. Pedagang dalam negeri;
  2. PPMSE dalam negeri; dan
  3. PSP dalam negeri;
b. Pelaku Usaha Luar Negeri yang meliputi:
  1. Pedagang luar negeri;
  2. PPMSE luar negeri; dan
  3. PSP luar negeri.
(2) Pedagang dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 termasuk pedagang yang melakukan PMSE melalui media sosial yang menyediakan sarana PMSE.

BAB III
PERSYARATAN MELAKUKAN KEGIATAN USAHA

Pasal 3

(1) Pelaku Usaha wajib memiliki Izin Usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE.
(2) PSP dikecualikan dari ketentuan kewajiban memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika:
a. bukan merupakan pihak yang mendapatkan manfaat (beneficiary) secara langsung dari transaksi; atau
b. tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual para pihak yang melakukan PMSE

Pasal 4

(1) Pedagang dalam negeri yang melakukan kegiatan usaha di sektor perdagangan umum wajib memiliki Izin Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai Surat Izin Usaha Perdagangan.
(2) Pedagang dalam negeri selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh Izin Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pada masing-masing sektor.
(3) Dalam hal Pedagang dalam negeri hanya melakukan kegiatan perdagangan eceran melalui internet (online), Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan KBLI 4791 (Perdagangan Eceran melalui Pemesanan Pos atau Internet).
(4) Permohonan penerbitan Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan kepada Lembaga OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5

(1) Pedagang luar negeri untuk dapat melakukan kegiatan PMSE wajib mendaftarkan nomor, nama, dan instansi penerbit izin usaha dari negara asal yang masih berlaku kepada PPMSE dalam negeri yang menyediakan sarana komunikasi elektronik untuk Pedagang luar negeri.
(2) PPMSE dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan penyimpanan data Pedagang luar negeri yang didaftarkan pada sarana PMSEnya.

Pasal 6

Dalam hal Pedagang dalam negeri merupakan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, permohonan untuk memperoleh Izin Usaha diajukan secara langsung kepada Lembaga OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau melalui fasilitas yang menginformasikan dan/atau menghubungkan ke laman Lembaga OSS yang difasilitasi oleh kementerian, lembaga, Pemerintah Daerah, atau PPMSE.

Pasal 7

PPMSE yang menyediakan sarana komunikasi elektronik bagi Pedagang harus menyediakan fasilitas yang menginformasikan dan/atau menghubungkan ke laman Lembaga OSS.

Pasal 8

(1) PPMSE dalam negeri dan PSP yang tidak dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib memiliki SIUPMSE.
(2) Pedagang dalam negeri yang memiliki sarana PMSE sendiri termasuk dalam kategori PPMSE dalam negeri dan wajib memiliki SIUPMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 9

(1) Untuk memperoleh SIUPMSE, PPMSE dalam negeri dan PSP yang tidak dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Lembaga OSS.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diajukan kepada Menteri harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik di bidang perdagangan.
(3) SIUPMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri.
(4) SIUPMSE berlaku selama PPMSE dalam negeri dan PSP yang tidak dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjalankan kegiatan usaha dan/atau kegiatannya.

Pasal 10

(1) SIUPMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berlaku efektif setelah PPMSE dalam negeri dan PSP yang tidak dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) memenuhi Komitmen.

(2) Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. Surat Tanda Terdaftar Penyelenggara Sistem Elektronik yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah SIUPMSE diterbitkan;
b. alamat situs web dan/atau nama aplikasi;
c. layanan pengaduan Konsumen berupa nomor kontak dan/atau alamat surat elektronik (email); dan
d. layanan pengaduan Konsumen yang memuat informasi kontak pengaduan Konsumen Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga;

(3) Layanan pengaduan Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d harus ditampilkan dengan jelas pada laman yang mudah dibaca oleh Konsumen.

(4) Nomor kontak dan/atau alamat surat elektronik (email) layanan pengaduan Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib dapat dihubungi dan direspon/ditanggapi.

Pasal 11

Penerbitan SIUPMSE tidak dipungut biaya.

Pasal 12

(1) PPMSE dalam negeri dan PSP yang tidak dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang telah memiliki SIUPMSE dan PPMSE luar negeri yang telah menunjuk perwakilan ditampilkan dalam laman khusus pada situs web Kementerian Perdagangan.
(2) PPMSE dalam negeri, PSP yang tidak dikecualikan, dan PPMSE luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menempatkan informasi yang jelas dan mudah dilihat oleh Konsumen bahwa PPMSE dalam negeri, PSP yang tidak dikecualikan dan PPMSE luar negeri dimaksud telah terdaftar pada situs web Kementerian Perdagangan.
(3) Penempatan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menjelaskan kedudukan PPMSE dalam negeri, PSP yang tidak dikecualikan, dan PPMSE luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terdaftar pada situs web Kementerian Perdagangan pada Konsumen.

Pasal 13

Dalam hal PPMSE dalam negeri, PSP yang tidak dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), dan PPMSE luar negeri yang telah menunjuk perwakilan mengakhiri kegiatan usahanya, pemilik, pengurus, atau penanggung jawab wajib menyampaikan laporan, data, dan/atau informasi secara elektronik melalui Lembaga OSS.

Pasal 14

PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib menyampaikan data dan/atau informasi kepada lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

(1) PPMSE luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b yang memenuhi kriteria tertentu wajib menunjuk perwakilan yang berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat bertindak sebagai dan atas nama PPMSE dimaksud.
(2) Kriteria tertentu bagi PPMSE luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. telah melakukan transaksi dengan lebih dari 1.000 (seribu) Konsumen dalam periode satu tahun; dan/ atau
b. telah melakukan pengiriman sebanyak lebih dari 1.000 (seribu) paket kepada Konsumen dalam periode satu tahun.
(3) Penilaian kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.
(4) Penunjukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan KP3A bidang PMSE sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.

BAB IV
IKLAN ELEKTRONIK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 16

(1) Pelaku Usaha dapat membuat dan/atau melakukan pengiriman Iklan Elektronik untuk kepentingan pemasaran atau promosi.
(2) Iklan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi yang disampaikan melalui sarana media elektronik dan/atau saluran komunikasi elektronik.
(3) Pembuatan Iklan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pembuatan, publikasi, dan penyebarluasan Iklan Elektronik untuk kepentingan pemasaran atau promosi.

Pasal 17

(1) Pengiriman Iklan Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dapat disampaikan secara waktu nyata dalam jaringan atau terhubung secara jeda waktu di luar jaringan melalui jaringan sarana komunikasi elektronik, baik saluran telekomunikasi, penyiaran atau internet.
(2) Iklan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan sendiri atau melalui pihak ketiga penyedia sarana aplikasi PMSE.
(3) Iklan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran, perlindungan atas privasi dan data pribadi, perlindungan Konsumen, dan tidak bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.

Pasal 18

Pelaku Usaha yang membuat, menyediakan sarana, dan/atau menyebarluaskan Iklan Elektronik wajib memastikan substansi atau materi Iklan Elektronik yang disampaikan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab terhadap substansi atau materi Iklan Elektronik.

Bagian Kedua
Syarat Umum Materi Iklan Elektronik

Pasal 19

(1) Iklan Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) harus memuat materi yang sesuai dengan kode etik periklanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penayangan Iklan Elektronik harus memenuhi ketentuan:
a. tidak mengelabui Konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga Barang dan/atau tarif Jasa, serta ketepatan waktu penerimaan Barang dan/atau Jasa;
b. tidak mengelabui jaminan atau garansi terhadap Barang dan/atau Jasa;
c. tidak memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai Barang dan/atau Jasa;
d. memuat informasi mengenai risiko pemakaian Barang dan/atau Jasa;
e. tidak mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; dan
f. menyediakan fungsi keluar dari tayangan Iklan Elektronik yang ditunjukkan dengan tanda close, skip, atau tutup dan ditempatkan pada tempat yang jelas sehingga memudahkan Konsumen dalam menutup Iklan Elektronik dimaksud.
(3) Penayangan Iklan Elektronik yang menampilkan hasil ulasan dan testimoni dari Konsumen yang pernah menggunakan barang dan/atau jasa harus mencantumkan/memiliki dan memastikan kebenaran informasi identitas subyek hukum yang bersangkutan dan dilakukan secara bertanggung jawab.

Bagian Ketiga
Pengawasan dan Penghentian Iklan Elektronik

Pasal 20

(1) Pengawasan Iklan Elektronik dapat dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah.
(2) Masyarakat dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyampaikan keluhan atas materi Iklan Elektronik kepada Pelaku Usaha dan/atau Direktur Jenderal PKTN.
(3) Direktur Jenderal PKTN dapat membentuk tim teknis untuk melakukan evaluasi atas keluhan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Hasil evaluasi tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa rekomendasi yang disampaikan kepada unit yang menangani pengawasan pada kementerian/ lembaga pemerintah non kementerian sesuai dengan kewenangannya.

BAB V
PENGUTAMAAN PRODUK DALAM NEGERI

Pasal 21


Dalam melakukan PMSE, Pelaku Usaha wajib membantu program Pemerintah, antara lain:
a. mengutamakan perdagangan Barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri;
b. meningkatkan daya saing Barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri; dan
c. PPMSE dalam negeri wajib menyediakan fasilitas ruang promosi Barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri.

Pasal 22

](1) Pengutamaan perdagangan Barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dilaksanakan dalam bentuk:
a. Pengembangan kemitraan usaha dengan pelaku Usaha Mikro dan Kecil yang dapat berupa temu usaha, forum dagang, dan misi dagang lokal atau jenis kemitraan lainnya baik secara dalam jaringan atau luar jaringan; dan/atau
b. Peningkatan akses pemasaran produk Usaha Mikro dan Kecil.
(2) Bentuk pengutamaan perdagangan Barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilaksanakan kepada Pelaku Ekonomi Kreatif.

Pasal 23

(1) Peningkatan daya saing Barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dilaksanakan dalam bentuk:
a. edukasi melalui media dalam jaringan atau luar jaringan;
b. pertemuan secara dalam jaringan atau luar jaringan berupa workshop, seminar, diskusi, forum komunikasi, bimbingan teknis, dan penyuluhan berdagang kepada pelaku usaha Usaha Mikro dan Kecil; dan/atau
c. bentuk kegiatan lain yang dapat meningkatkan daya saing Barang dan/atau Jasa hasil produk dalam negeri.
(2) Bentuk peningkatan daya saing Barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilaksanakan kepada Pelaku Ekonomi Kreatif.

Pasal 24


Penyediaan fasilitas promosi Barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dilaksanakan dalam bentuk:
a. pelaksanaan pameran baik pameran mandiri atau pameran partisipasi baik secara dalam jaringan atau luar jaringan;
b. penyediaan laman utama dan/atau laman khusus untuk pemasaran (landing page) untuk mempromosikan Produk Dalam Negeri yang potensial; dan/atau
c. pelaksanaan kegiatan promosi yang dapat berupa diskon, potongan harga, dan/atau biaya ongkos kirim bagi produk dalam negeri.

BAB VI
KP3A BIDANG PMSE

Pasal 25

(1) PPMSE luar negeri yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 menunjuk perwakilan yang berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesaturan Republik Indonesia dalam bentuk KP3A bidang PMSE.
(2) KP3A bidang PMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mewakili 1 (satu) PPMSE luar negeri.
(3) KP3A bidang PMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membuka kantor cabang atas persetujuan PPMSE luar negeri yang diwakilkan.
(4) KP3A bidang PMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlokasi di ibu kota provinsi dan/atau kabupaten/kota di seluruh wilayah Negara Kesaturan Republik Indonesia.

Pasal 26

(1) KP3A bidang PMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) wajib memiliki SIUP3A bidang PMSE.
(2) Untuk memperoleh SIUP3A bidang PMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KP3A bidang PMSE mengajukan permohonan kepada Lembaga OSS.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dengan melengkapi persyaratan:
a. bukti penunjukkan KP3A bidang PMSE sebagai perwakilan oleh PPMSE luar negeri yang telah dilegalisir oleh Notary Public dan Surat Keterangan dari Atase Perdagangan Republik Indonesia atau pejabat kantor perwakilan Republik Indonesia di negara PPMSE luar negeri;
b. rekaman anggaran dasar (article of association/incorporation) PPMSE luar negeri;
c. bukti diri pimpinan KP3A bidang PMSE yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk untuk warga negara Indonesia dan paspor untuk warga negara asing;
d. penggunaan tenaga kerja agar melampirkan surat pernyataan jumlah tenaga kerja yang digunakan disertai rekaman identitas dan surat keterangan kerja;
e. menyampaikan alamat situs web dan/atau nama aplikasi dari PPMSE luar negeri yang diwakilkan; dan
f. menyampaikan Nomor kontak dan/atau alamat email layanan pengaduan Konsumen dari PPMSE luar negeri yang diwakilkan.
(4) Bukti penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan rekaman anggaran dasar (article of association/incorporation)) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah.
(5) Bukti penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling sedikit memuat kewenangan KP3A bidang PMSE untuk mewakili PPMSE luar negeri dalam:
a. memenuhi kewajiban perlindungan konsumen;
b. melakukan pembinaan untuk meningkatkan daya saing; dan
c. penyelesaian sengketa.

Pasal 27

Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), KP3A bidang PMSE wajib menyampaikan Surat Tanda Terdaftar Penyelenggara Sistem Elektronik atas nama PPMSE Luar Negeri yang diwakili yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah SIUP3A bidang PMSE diterbitkan.

Pasal 28

(1) SIUP3A bidang PMSE berlaku juga sebagai Izin Usaha untuk kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3).
(2) SIUP3A bidang PMSE berlaku selama KP3A menjalankan usaha dan/atau kegiatannya sebagai perwakilan.

Pasal 29

(1) SIUP3A bidang PMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) digunakan KP3A bidang PMSE untuk bertindak sebagai dan atas nama PPMSE luar negeri yang diwakilkan terkait kepentingan perlindungan Konsumen, pembinaan untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri, dan penyelesaian sengketa.
(2) KP3A bidang PMSE dilarang melakukan tindakan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 30

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan perwakilan secara sepihak, PPMSE luar negeri wajib menunjuk perwakilan yang baru dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak salah satu pihak menyatakan pemutusan hubungan dimaksud secara tertulis.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 31

Menteri berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PMSE.

Pasal 32

(1) Menteri melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dengan cara:
a. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia Pelaku Usaha Dalam Negeri;
b. meningkatkan daya saing Pelaku Usaha Dalam Negeri dalam PMSE;
c. memfasilitasi peningkatan daya saing produk dalam negeri dalam PMSE;
d. memfasilitasi promosi produk dalam negeri untuk pasar dalam negeri dan ekspor;
e. mempromosikan dan mendorong penggunaan PMSE;
f. meningkatkan keuangan inklusif masyarakat dengan PMSE;
g. menyediakan pangkalan data Pelaku Usaha dan produk dalam negeri; dan
h. mengupayakan pemberian fasilitasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dan berkolaborasi dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
(3) Koordinasi dan kolaborasi dengan instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk tim yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diketuai oleh Direktur Jenderal PDN dan beranggotakan pejabat eselon I dari masing-masing intansi terkait.

Pasal 33

(1) Menteri melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dengan mengutamakan perlindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif PMSE dari luar negeri.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan parameter pengawasan di bidang perdagangan dan di bidang perlindungan konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34

Menteri mendelegasikan kewenangan melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 kepada Direktur Jenderal PKTN.

Pasal 35

(1) Dalam melaksanakan pengawasan, Direktur Jenderal PTKN dibantu oleh tim asistensi pengawasan yang bersifat lintas sektor.
(2) Tim asistensi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk oleh Menteri.

Pasal 36

(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Menteri dapat meminta data dan/atau informasi perusahaan dan kegiatan usaha Pelaku Usaha.
(2) Permintaan data dan/atau informasi perusahaan dan kegiatan usaha Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. diperlukan data yang mutakhir, akurat, dan cepat; dan
b. data yang diminta tidak tercakup dalam data dan/atau informasi yang disampaikan kepada lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

Pasal 37

(1) Dalam rangka pembinaan, data dan/atau informasi perusahaan dan kegiatan usaha Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal PDN.
(2) Jenis data dan/atau informasi perusahaan dan kegiatan usaha Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa data individual dan/atau granular.

Pasal 38

Penyampaian data dan/atau informasi perusahaan dan kegiatan usaha Pelaku Usaha dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 39

(1) Dalam hal hasil pengawaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ditemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan PMSE maka terhadap Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran dikenai sanksi administratif oleh Menteri.
(2) Menteri mendelegasikan kewenangan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal PKTN.

Pasal 40

(1) Pedagang dalam negeri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau Pedagang luar negeri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pedagang dalam negeri tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau Pedagang luar negeri tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar hitam.
(4) Selain diberikan sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pedagang dalam negeri atau Pedagang luar negeri dikenai sanksi administratif berupa perintah penghentian kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Perdagangan.

Pasal 41

(1) Dalam hal Pedagang dalam negeri atau Pedagang luar negeri dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4), PPMSE atau PSP wajib melakukan pemblokiran layanan PMSE Pedagang dalam negeri atau Pedagang luar negeri.
(2) Apabila PPMSE atau PSP tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(3) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) PPMSE dan PSP tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa pemblokiran sementara layanan PPMSE dan PSP oleh instansi terkait yang berwenang.
(5) Pemblokiran sementara layanan PPMSE dan PSP oleh instansi terkait yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berdasarkan permintaan Direktur Jenderal PKTN.

Pasal 42

Pedagang dalam negeri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

(1) PPMSE dalam negeri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai paling banyak 3 (tiga) kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPMSE dalam negeri tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar prioritas pengawasan.
(4) Sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dengan masa tenggang waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPMSE dalam negeri tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa pemblokiran sementara layanan PPMSE oleh instansi terkait yang berwenang.
(6) Pemblokiran sementara layanan PPMSE oleh instansi terkait yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan permintaan Direktur Jenderal PKTN.

Pasal 44

(1) PPMSE dalam negeri dan PSP yang tidak dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) PPMSE dalam negeri dan PSP yang tidak dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dikenai sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar hitam dan pemblokiran sementara layanan PPMSE dan PSP oleh instansi terkait yang berwenang.
(4) Pemblokiran sementara layanan PPMSE dan PSP oleh instansi terkait yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh instansi yang berwenang berdasarkan permintaan Direktur Jenderal PKTN.

Pasal 45

(1) PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri yang tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dikenai sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar hitam dan pemblokiran sementara layanan PPMSE oleh instansi terkait yang berwenang.
(4) Pemblokiran sementara layanan PPMSE oleh instansi terkait yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh instansi yang berwenang berdasarkan permintaan Direktur Jenderal PKTN.

Pasal 46

(1) PPMSE luar negeri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 30, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai paling banyak 3 (tiga) kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) PPMSE luar negeri tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 30, dikenai sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar hitam dan pemblokiran sementara layanan PPMSE oleh instansi terkait yang berwenang.
(4) Pemblokiran sementara layanan PPMSE oleh instansi terkait yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh instansi yang berwenang berdasarkan permintaan Direktur Jenderal PKTN.

Pasal 47

(1) Pelaku Usaha yang membuat dan/atau menyebarluaskan Iklan Elektronik yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pelaku Usaha tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dikenai sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar prioritas pengawasan.
(4) Sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dengan masa tenggang waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pelaku Usaha tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Usaha.

Pasal 48

Pelaku Usaha yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.

Pasal 49

(1) KP3A bidang PMSE yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 29 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan perintah penghentian kegiatan KP3A bidang PMSE.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Perintah penghentian kegiatan KP3A bidang PMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Direktur Jenderal PKTN atas nama Menteri.

Pasal 50

(1) Dalam hal Pelaku Usaha yang dikenai sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (3) telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan untuk dikeluarkan dari daftar prioritas pengawasan kepada Direktur Jenderal PKTN.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha yang dikenai sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat (3), dan Pasal 46 ayat (3), telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan untuk dikeluarkan dari daftar hitam kepada Direktur Jenderal PKTN.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha yang dikenai sanksi administratif berupa pemblokiran sementara layanan PMSE oleh instansi terkait yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4), Pasal 43 ayat (5), Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat (3), dan Pasal 46 ayat (3) telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan pembukaan pemblokiran sementara layanan PMSE kepada Direktur Jenderal PKTN.
(4) Dalam hal Pedagang dalam negeri atau Pedagang luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) yang dikenai sanksi berupa perintah penghentian kegiatan usaha dan KP3A bidang PMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) yang dikenai sanksi berupa perintah penghentian kegiatan KP3A bidang PMSE telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini, Pedagang dalam negeri, Pedagang luar negeri, dan KP3A bidang PMSE dapat melaksanakan kembali kegiatan usahanya.

Pasal 51

(1) Direktur Jenderal PKTN melakukan evaluasi permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) sampai dengan ayat (3) paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.
(2) Jika hasil evaluasi permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Direktur Jenderal PKTN:
a. mengeluarkan Pelaku Usaha dari daftar prioritas pengawasan dan daftar hitam; dan/atau
b. mengajukan permintaan pembukaan pemblokiran sementara layanan PMSE kepada instansi terkait yang berwenang.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52

Izin usaha yang telah diperoleh PPMSE dalam negeri, Pedagang dalam negeri, dan PSP dalam negeri sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, tetap berlaku sepanjang:
a. masa berlakunya belum habis atau belum dicabut; dan
b. didaftarkan ke sistem OSS.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 53

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Mei 2020

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS SUPARMANTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 2020

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA

    Download Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik

    Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:

    Download Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.pdf

    Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Semoga bisa bermanfaat.

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel