Buku Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) SD SMP SMA SMK
8 Feb 2020
Berikut ini adalah berkas Buku Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) untuk SD SMP SMA, SMK. Download file format PDF. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan - Badan Penelitian dan Pengembangan - Kemdikbud RI - Tahun 2019.
Buku Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills)
Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas Buku Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) untuk SD SMP SMA SMK:
Keterampilan berpikir tingkat tinggi atau yang lebih dikenal HOTS (higher order thinking skills) merupakan topik yang hangat dibicarakan di dunia pendidikan. Isu yang menjadi perhatian adalah rendahnya keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik Indonesia, seperti ditunjukkan hasil studi internasional PISA (Programme for International Student Assessment). Padahal keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan salah satu modal individu untuk mempersiapkan diri menghadapi dunia nyata dengan perubahan yang semakin cepat.
Salah satu usaha yang perlu dilakukan dunia pendidikan untuk menyiapkan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa yang dapat bersaing di tingkat global adalah meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik. Pusat Penilaian Pendidikan sebagai lembaga penilaian berskala nasional membantu mewujudkannya dengan menyiapkan buku Penulisan Soal HOTS-Higher Order Thinking Skills (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi). Diharapkan dengan buku ini, pendidik dapat menyusun instrumen penilaian yang berkualitas.
Buku ini merupakan bagian dari rangkaian buku penilaian yang diterbitkan Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Penilaian Tes Tertulis, Penilaian Kinerja, Penilaian Formatif, dan Penilaian Karakter. Pembaca juga diharapkan mencermati buku-buku tersebut disamping buku Penulisan Soal HOTS-Higher Order Thinking Skills (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) ini.
Kita sedang berada di era baru, era industrialisasi digital dimana kegiatan industri terintegrasi melalui penggunaan teknologi wireless dan big data secara massif. Saat ini berbagai macam kebutuhan manusia telah banyak menerapkan dukungan internet dan dunia digital sebagai wahana interaksi dan transaksi. Sharing economy, e-education, e- government, cloud collaborative, marketplace, smart city adalah wajah dunia saat ini yang semakin kompleks, begitu cepat berubah, dan menantang sekaligus mengancam. Laporan hasil kajian McKinsey (2019) terhadap dunia kerja Indonesia menunjukkan bahwa lebih banyak pekerjaan baru yang tercipta pada tahun 2030 daripada pekerjaan yang hilang karena otomasi; antara 27-46 juta lapangan kerja baru akan dapat diciptakan dan 10 juta diantaranya merupakan jenis pekerjaan yang belum pernah ada sebelumnya. Keterampilan dalam teknologi, sosial emosional dan berpikir tingkat tinggi seperi kreativitas dan penyelesaian masalah merupakan keterampilan yang diperlukan pada era otomasi ini. Peluang dan ancaman pada era ini perlu disikapi dengan tepat oleh dunia pendidikan.
Dunia pendidikan perlu menyiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan abad 21 yang semakin kompleks. Pendidikan tidak cukup hanya membekali peserta didik dengan pengetahuan dan proses berpikir sederhana seperti yang dikenal selama ini, tetapi juga perlu menyiapkan mereka untuk memiliki dan mampu mengembangkan kecakapan esensial abad ini. Partnership for 21st Century Skills berkolaborasi menyusun kerangka pembelajaran abad 21 agar para pelajar sukses di abad digital ini.
Kerangka tersebut mendeskripsikan perpaduan antara keterampilan, pengetahuan, literasi, dan keahlian yang harus dikuasai peserta didik agar sukses dalam berkarir dan menjalani kehidupan di abad 21 ini. Setiap skil abad 21 tetap memerlukan pengetahuan, pemahaman, penguasaan, dan pengembangan mata pelajaran inti, yakni bahasa, seni, matematika, sain, ekonomi, geografi, sejarah, dan kewarganegaraan. Jadi, peserta didik tidak hanya dituntut mampu berpikir kritis dan berkomunikasi efektif namun tetap harus memiliki dasar pengetahuan dan pemahaman terhadap mata pelajaran inti dengan benar.
Dalam konteks pembelajaran dan penilaian abad 21, peserta didik harus mempelajari dan menguasai esensial keterampilan antara lain berpikir kritis dan pemecahan masalah; berpikir kreatif dan inovatif; dan berkolaborasi dan berkomunikasi efektif. berpikir kritis dan pemecahan masalah; dan berpikir kreatif dan inovatif merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi perlu dimiliki oleh setiap peserta didik agar dapat berfungsi optimal sebagai individu dan anggota masyarakat yang kritis, mandiri, dan produktif. Peserta didik yang memiliki keterampilan tingkat tinggi lebih terbuka pada adanya berbagai perbedaan atau keragaman, tidak mudah menerima suatu informasi tanpa bukti atau alasan yang berdasar, tidak mudah terpengaruh atau terbawa arus, mereka mandiri dalam berpikir dan bertindak, dapat membedakan hal yang penting dan prioritas sehingga dapat menghasilkan karya nyata yang bermanfaat. Pada akhirnya keterampilan berpikir tingkat tinggi diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Pembelajaran dan penilaian keterampilan berpikir tingkat tinggi pada hakikatnya merupakan pembelajaran dan penilaian bermakna bukan sekadar menghapal karena pembelajaran dan penilaian ini memungkinkan peserta didik untuk dapat : 1) mentransfer, menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimilikinya ke konteks yang baru atau cara yang lebih kompleks; 2) berpikir kritis, menerapkan pertimbangan yang bijaksana (wise judgement) atau menghasilkan kritik yang berdasar (reasoned critique); 3) menyelesaikan masalah, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah dalam kehidupannya.
Pembelajaran dan penilaian dengan berbagai teknik dan instrumen yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, menyelesaikan masalah diyakini dapat meningkatkan dan mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Buku ini fokus pada pengembangan instumen penilaian berpikir tingkat tinggi, khususnya dalam bentuk penilaian tertulis.
Pengertian Berpikir Tingkat Tinggi
Keterampilan berpikir tingkat tinggi atau yang lebih dikenal HOTS (higher order thinking skills) merupakan topik yang hangat dibicarakan di dunia pendidikan. Isu yang menjadi perhatian adalah rendahnya keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik Indonesia, seperti ditunjukkan hasil studi internasional PISA (Programme for International Student Assessment). Padahal keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan salah satu modal individu untuk mempersiapkan diri menghadapi dunia nyata dengan perubahan yang semakin cepat.
Salah satu usaha yang perlu dilakukan dunia pendidikan untuk menyiapkan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa yang dapat bersaing di tingkat global adalah meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik. Pusat Penilaian Pendidikan sebagai lembaga penilaian berskala nasional membantu mewujudkannya dengan menyiapkan buku Penulisan Soal HOTS-Higher Order Thinking Skills (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi). Diharapkan dengan buku ini, pendidik dapat menyusun instrumen penilaian yang berkualitas.
Buku ini merupakan bagian dari rangkaian buku penilaian yang diterbitkan Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Penilaian Tes Tertulis, Penilaian Kinerja, Penilaian Formatif, dan Penilaian Karakter. Pembaca juga diharapkan mencermati buku-buku tersebut disamping buku Penulisan Soal HOTS-Higher Order Thinking Skills (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) ini.
Kita sedang berada di era baru, era industrialisasi digital dimana kegiatan industri terintegrasi melalui penggunaan teknologi wireless dan big data secara massif. Saat ini berbagai macam kebutuhan manusia telah banyak menerapkan dukungan internet dan dunia digital sebagai wahana interaksi dan transaksi. Sharing economy, e-education, e- government, cloud collaborative, marketplace, smart city adalah wajah dunia saat ini yang semakin kompleks, begitu cepat berubah, dan menantang sekaligus mengancam. Laporan hasil kajian McKinsey (2019) terhadap dunia kerja Indonesia menunjukkan bahwa lebih banyak pekerjaan baru yang tercipta pada tahun 2030 daripada pekerjaan yang hilang karena otomasi; antara 27-46 juta lapangan kerja baru akan dapat diciptakan dan 10 juta diantaranya merupakan jenis pekerjaan yang belum pernah ada sebelumnya. Keterampilan dalam teknologi, sosial emosional dan berpikir tingkat tinggi seperi kreativitas dan penyelesaian masalah merupakan keterampilan yang diperlukan pada era otomasi ini. Peluang dan ancaman pada era ini perlu disikapi dengan tepat oleh dunia pendidikan.
Dunia pendidikan perlu menyiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan abad 21 yang semakin kompleks. Pendidikan tidak cukup hanya membekali peserta didik dengan pengetahuan dan proses berpikir sederhana seperti yang dikenal selama ini, tetapi juga perlu menyiapkan mereka untuk memiliki dan mampu mengembangkan kecakapan esensial abad ini. Partnership for 21st Century Skills berkolaborasi menyusun kerangka pembelajaran abad 21 agar para pelajar sukses di abad digital ini.
Kerangka tersebut mendeskripsikan perpaduan antara keterampilan, pengetahuan, literasi, dan keahlian yang harus dikuasai peserta didik agar sukses dalam berkarir dan menjalani kehidupan di abad 21 ini. Setiap skil abad 21 tetap memerlukan pengetahuan, pemahaman, penguasaan, dan pengembangan mata pelajaran inti, yakni bahasa, seni, matematika, sain, ekonomi, geografi, sejarah, dan kewarganegaraan. Jadi, peserta didik tidak hanya dituntut mampu berpikir kritis dan berkomunikasi efektif namun tetap harus memiliki dasar pengetahuan dan pemahaman terhadap mata pelajaran inti dengan benar.
Dalam konteks pembelajaran dan penilaian abad 21, peserta didik harus mempelajari dan menguasai esensial keterampilan antara lain berpikir kritis dan pemecahan masalah; berpikir kreatif dan inovatif; dan berkolaborasi dan berkomunikasi efektif. berpikir kritis dan pemecahan masalah; dan berpikir kreatif dan inovatif merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi perlu dimiliki oleh setiap peserta didik agar dapat berfungsi optimal sebagai individu dan anggota masyarakat yang kritis, mandiri, dan produktif. Peserta didik yang memiliki keterampilan tingkat tinggi lebih terbuka pada adanya berbagai perbedaan atau keragaman, tidak mudah menerima suatu informasi tanpa bukti atau alasan yang berdasar, tidak mudah terpengaruh atau terbawa arus, mereka mandiri dalam berpikir dan bertindak, dapat membedakan hal yang penting dan prioritas sehingga dapat menghasilkan karya nyata yang bermanfaat. Pada akhirnya keterampilan berpikir tingkat tinggi diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Pembelajaran dan penilaian keterampilan berpikir tingkat tinggi pada hakikatnya merupakan pembelajaran dan penilaian bermakna bukan sekadar menghapal karena pembelajaran dan penilaian ini memungkinkan peserta didik untuk dapat : 1) mentransfer, menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimilikinya ke konteks yang baru atau cara yang lebih kompleks; 2) berpikir kritis, menerapkan pertimbangan yang bijaksana (wise judgement) atau menghasilkan kritik yang berdasar (reasoned critique); 3) menyelesaikan masalah, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah dalam kehidupannya.
Pembelajaran dan penilaian dengan berbagai teknik dan instrumen yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, menyelesaikan masalah diyakini dapat meningkatkan dan mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Buku ini fokus pada pengembangan instumen penilaian berpikir tingkat tinggi, khususnya dalam bentuk penilaian tertulis.
Pengertian Berpikir Tingkat Tinggi
Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang terjadi ketika seseorang dihadapkan pada situasi atau suatu permasalahan yang harus diselesaikan. Kegiatan mental atau kegiatan berpikir yang terjadi dapat berbeda-beda tingkatannya tergantung pada situasi atau kompleksitas masalah yang dihadapi. Suatu masalah mungkin dapat diselesaikan dengan tingkat berpikir yang lebih rendah seperti mengingat dan memahami. Masalah lain yang lebih kompleks memerlukan keterampilan berpikir yang lebih tinggi, seperti menganalisis dan mengevaluasi.
Proses berpikir dan klasifikasinya telah banyak dibahas para ahli. Klasifikasi atau taksonomi yang paling dikenal dalam dunia pendidikan ialah Taksonomi Bloom. Taksonomi tersebut digagas oleh Benyamin Bloom dan dipublikasikan bersama koleganya pada tahun 1956. Setelah 40 tahun, Taksonomi tersebut direvisi, terutama oleh Lorin Anderson dan David Krathwol dan dipublikasi tahun 2001. Dalam Taksonomi Bloom yang direvisi tersebut, dirumuskan 6 level proses berpikir, yaitu mengingat (remembering), memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), mengevaluasi (evaluating), dan mengkreasi (creating).
Mengkreasi(creating)
Mengevaluasi(evaluating)
Menganalisis(analyzing)
Menerapkan(applying)
Memahami(understanding)
Mengingat(remembering)
Level proses berpikir Taksonomi Bloom yang direvisi oleh Lorin Anderson dan David Krathwol, 2001
Susan Brookhart mengkategorikan tiga proses kognitif paling atas pada taksonomi Bloom, yaitu menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi sebagai proses berpikir tingkat tinggi. Susan menjelaskan tiga proses kognitif tersebut sebagai berikut.
Kategori proses kognitif berpikir tingkat tinggi:
Menganalisis
Proses berpikir dan klasifikasinya telah banyak dibahas para ahli. Klasifikasi atau taksonomi yang paling dikenal dalam dunia pendidikan ialah Taksonomi Bloom. Taksonomi tersebut digagas oleh Benyamin Bloom dan dipublikasikan bersama koleganya pada tahun 1956. Setelah 40 tahun, Taksonomi tersebut direvisi, terutama oleh Lorin Anderson dan David Krathwol dan dipublikasi tahun 2001. Dalam Taksonomi Bloom yang direvisi tersebut, dirumuskan 6 level proses berpikir, yaitu mengingat (remembering), memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), mengevaluasi (evaluating), dan mengkreasi (creating).
Mengkreasi(creating)
Mengevaluasi(evaluating)
Menganalisis(analyzing)
Menerapkan(applying)
Memahami(understanding)
Mengingat(remembering)
Level proses berpikir Taksonomi Bloom yang direvisi oleh Lorin Anderson dan David Krathwol, 2001
Susan Brookhart mengkategorikan tiga proses kognitif paling atas pada taksonomi Bloom, yaitu menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi sebagai proses berpikir tingkat tinggi. Susan menjelaskan tiga proses kognitif tersebut sebagai berikut.
Kategori proses kognitif berpikir tingkat tinggi:
Menganalisis
Proses kognitif dan contoh:
Mengurai informasi ke dalam bagian-bagian dan menentukan atau menjelaskan bagaimana bagian-bagian tersebut terkait.
Soal mengukur analisis ketika peserta harus menyimpulkan berdasarkan analisis dari bagian-bagian teks atau stimulus
Contoh: menemukan atau menentukan ide-ide pokok, argumen, asumsi dari suatu teks yang tidak disampaikan secara eksplisit; menentukan atau menyusun bukti yang mendukung dan tidak mendukung untuk suatu deskripsi kasus; menentukan pandangan penulis esai dari sudut pandang tertentu.
Soal mengukur analisis ketika peserta harus menyimpulkan berdasarkan analisis dari bagian-bagian teks atau stimulus
Contoh: menemukan atau menentukan ide-ide pokok, argumen, asumsi dari suatu teks yang tidak disampaikan secara eksplisit; menentukan atau menyusun bukti yang mendukung dan tidak mendukung untuk suatu deskripsi kasus; menentukan pandangan penulis esai dari sudut pandang tertentu.
Kategori proses kognitif berpikir tingkat tinggi:
Mengevaluasi
Proses kognitif dan contoh:
Mengevaluasi sesuai dengan tujuan; membuat pertimbangan/judgement berdasarkan standar atau kriteria.
Contoh: menentukan metode yang memberikan solusi yang paling tepat untuk masalah yang disajikan; menentukan ketepatan kesimpulan peneliti berdasar data yang disajikan.
Kategori proses kognitif berpikir tingkat tinggi:
Mengkreasi
Contoh: menentukan metode yang memberikan solusi yang paling tepat untuk masalah yang disajikan; menentukan ketepatan kesimpulan peneliti berdasar data yang disajikan.
Kategori proses kognitif berpikir tingkat tinggi:
Mengkreasi
Proses kognitif dan contoh:
Menyatukan unsur-unsur untuk membentuk suatu kesatuan; menata ulang unsur-unsur untuk membentuk pola atau stuktur yang baru.
Contoh: merencanakan karya tulis ilmiah berdasarkan topik yang diberikan; menyusun desain eksperimen; menyusun hipotesis untuk menerangkan fenomena yang tampak; menyusun akhir cerita
Selain menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi dari Taxonomi Bloom tersebut, dikenal juga istilah lain untuk menunjukkan proses berpikir tingkat tinggi seperti judgement dan berpikir kritis, menyelesaikan masalah, kreativitas dan berpikir kreatif. Dalam tataran operasional, proses berpikir tersebut seringkali overlap. Sebagai contoh ketika mengkreasi, berpikir kritis dan berpikir kreatif juga terlibat. Demikian pula ketika menyelesaikan masalah, analisis, evaluasi, berpikir kreatif juga dapat terlibat. Sebagian istilah yang berbeda juga bermakna hampir sama misalnya antara judgment dan mengevaluasi.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, berpikir tingkat tinggi dapat ditunjukkan ketika individu menerapkan pengetahuan dan keterampilan ke konteks yang baru atau cara yang lebih kompleks (transfer). Transfer dapat dilakukan karena adanya retensi, yaitu menyimpan atau mengingat apa yang telah dipelajari. Hal ini menunjukkan berpikir tingkat tinggi tidak dapat lepas dari berpikir tingkat rendah. Berpikir tingkat rendah merupakan landasan untuk berpikir tingkat tinggi.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa cakupan berpikir tingkat tinggi cukup luas dan level proses berpikir dapat dikategorikan sampai 6 level seperti Taxonomy
Bloom. Untuk kepentingan penilaian tingkat nasional, dengan prinsip bermanfaat dan sederhana, Pusat Penilaian Pendidikan mengkategorikan proses berpikir menjadi 3 level kognitif, yakni :
a. Level 1 (Pengetahuan dan Pemahaman)
mengukur kemampuan untuk mengingat dan memahami pengetahuan yang telah dipelajari.
b. Level 2 (Aplikasi)
mengukur kemampuan menerapkan pengetahuan dalam konteks atau situasi yang familier atau rutin.
c. Level 3 (Penalaran)
mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, yang tidak hanya sekedar mengingat dan memahami. Proses berpikir yang termasuk dalam level ini seperti menganalisis, mengevaluasi, mengkreasi, berpikir logis, berpikir kritis, berpikir kreatif, menyelesaikan masalah pada konteks baru atau non rutin.
Bagaimana Menilai Berpikir Tingkat Tinggi?
Contoh: merencanakan karya tulis ilmiah berdasarkan topik yang diberikan; menyusun desain eksperimen; menyusun hipotesis untuk menerangkan fenomena yang tampak; menyusun akhir cerita
Selain menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi dari Taxonomi Bloom tersebut, dikenal juga istilah lain untuk menunjukkan proses berpikir tingkat tinggi seperti judgement dan berpikir kritis, menyelesaikan masalah, kreativitas dan berpikir kreatif. Dalam tataran operasional, proses berpikir tersebut seringkali overlap. Sebagai contoh ketika mengkreasi, berpikir kritis dan berpikir kreatif juga terlibat. Demikian pula ketika menyelesaikan masalah, analisis, evaluasi, berpikir kreatif juga dapat terlibat. Sebagian istilah yang berbeda juga bermakna hampir sama misalnya antara judgment dan mengevaluasi.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, berpikir tingkat tinggi dapat ditunjukkan ketika individu menerapkan pengetahuan dan keterampilan ke konteks yang baru atau cara yang lebih kompleks (transfer). Transfer dapat dilakukan karena adanya retensi, yaitu menyimpan atau mengingat apa yang telah dipelajari. Hal ini menunjukkan berpikir tingkat tinggi tidak dapat lepas dari berpikir tingkat rendah. Berpikir tingkat rendah merupakan landasan untuk berpikir tingkat tinggi.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa cakupan berpikir tingkat tinggi cukup luas dan level proses berpikir dapat dikategorikan sampai 6 level seperti Taxonomy
Bloom. Untuk kepentingan penilaian tingkat nasional, dengan prinsip bermanfaat dan sederhana, Pusat Penilaian Pendidikan mengkategorikan proses berpikir menjadi 3 level kognitif, yakni :
a. Level 1 (Pengetahuan dan Pemahaman)
mengukur kemampuan untuk mengingat dan memahami pengetahuan yang telah dipelajari.
b. Level 2 (Aplikasi)
mengukur kemampuan menerapkan pengetahuan dalam konteks atau situasi yang familier atau rutin.
c. Level 3 (Penalaran)
mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, yang tidak hanya sekedar mengingat dan memahami. Proses berpikir yang termasuk dalam level ini seperti menganalisis, mengevaluasi, mengkreasi, berpikir logis, berpikir kritis, berpikir kreatif, menyelesaikan masalah pada konteks baru atau non rutin.
Bagaimana Menilai Berpikir Tingkat Tinggi?
Seperti halnya dalam penyusunan instrumen penilaian secara umum, penyusunan penilaian keterampilan berpikir tingkat tinggi juga melibatkan tiga hal prinsip, yaitu: 1) Menentukan secara jelas apa yang akan dinilai; 2) Menyusun tugas atau soal tes; dan 3) Menentukan kriteria penguasaan hal yang dinilai.
Dalam penyusunan penilaian berpikir tingkat tinggi, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1) menggunakan stimulus ; 2) menggunakan konteks yang baru; dan 3) membedakan antara tingkat kesulitan dan kompleksitas proses berpikir.
Prinsip Penyusunan Instrumen Penilaian Secara Umum
Prinsip Penyusunan Instrumen Penilaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Pertanyaan dan Jawaban Tentang HOTS
A. Konsep HOTS
Apa sebenarnya HOTS itu?
HOTS singkatan dari higher order thinking skills, diterjemahkan sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi, meskipun kalau dari makna kata, higher lebih tepat diterjemahkan sebagai lebih tinggi. Istilah HOTS dikontraskan dengan LOTS, lower order thinking skills atau keterampilan berpikir tingkat rendah.
Mengapa perlu HOTS ?
HOTS perlu dikembangkan karena berpikir pada dasarnya adalah ciri khas dan keunggulan manusia. Pendidikan yang fokus pada LOTS bukan pada HOTS akan menghasilkan peserta didik yang pasif, yang hanya pintar menghapal, meniru, tidak terampil menyelesaikan masalah, tidak kritis dan tidak kreatif.
Tanpa HOTS tidak akan ada inovasi, tidak ada peningkatan kualitas hidup manusia. Tanpa HOTS manusia akan mudah dipengaruhi, menerima informasi tanpa mengkritisi kebenarannya, mengikuti suatu ajakan tanpa alasan yang mendasar.
HOTS pada dasarnya adalah memanusiakan manusia; HOTS mengembangkan potensi diri manusia secara optimal.
Berpikir yang bagaimana yang termasuk HOTS?
HOTS mencakup berpikir yang tidak hanya sekedar mengingat dan memahami (berpikir tingkat rendah) tetapi lebih dari itu, misalnya menganalisis, mengevaluasi, menilai (melakukan judgement), mengkreasi, berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir logis, dan menyelesaikan masalah. Dalam operasionalnya jenis HOTS seringkali tumpang tindih, tidak berdiri sendiri, misalnya ketika menyelesakan masalah, seseorang juga menganalisis, berpikir logis, berpikir kritis, juga berpikir kreatif. Begitu juga ketika mengevaluasi, bentuk HOTS yang lain seperti berpikir logis dan berpikir kritis dapat terlibat.
Apakah LOTS tidak diperlukan?
LOTS tetap diperlukan karena untuk berpikir tingkat tinggi seseorang memerlukan hasil berpikir tingkat rendah. Sebagai contoh, untuk mendiganosis suatu penyakit dan treatmennya, seseorang harus mempunyai ingatan dan pemahaman tentang organ tubuh dan fungsinya serta keterkaitan atau cara kerja organ. Contoh lain, ketika seseorang melakukan penilaian atau kritik terhadap suatu karya, ia perlu memahami apa yang dimaksud karya yang baik, mengetahui ciri-cirinya. Namun mengingat dan memahami saja tidak cukup, untuk dapat melakukan kritik ia harus menganalisis karya tersebut, memilih unsur-unsur karya tersebut dan menghubungkan dengan konsep/ kriteria karya yang baik, dan melakukan judgment.
Apakah penilaian HOTS mempunyai dampak positif HOTS pada peserta didik?
Penelitian di luar negeri menunjukkan penilaian HOTS meningkatkan motivasi dan kompetensi peserta didik. Dalam pembelajaran, peserta didik yang dinilai dengan HOTS menggunakan pendekatan belajar yang menyeluruh dan bermakna, bukan hanya dengan menghapal.
B. Penilaian dan Soal HOTS
Apa ciri penilaian HOTS?
Penilaian dikatakan HOTS bila penyelesaian tugas atau soal yang diberikan kepada peserta didik menuntut mereka untuk berpikir: mengolah informasi/berpikir logis/berpikir kritis/menganalisis/berpikir kreatif, tidak hanya sekedar mengandalkan ingatan.
Apakah HOTS hanya dapat dinilai dengan soal bentuk pilihan ganda?
Penilaiaan HOTS tidak hanya dengan bentuk pilihan ganda, dapat menggunakan penilaian tertulis lain seperti essay dan isian, dan juga penilaian non tertulis (unjuk kerja).
Apakah soal HOTS pasti kontekstual?
Bila yang dimaksud kontekstual adalah situasi yang berkaitan dengan kehidupan dunia nyata, atau lazim dijumpai dalam kehidupan, soal HOTS tidak selalu kontekstual.
Sebagai contoh dalam Matematika, soal yang meminta peserta didik untuk membuktikan rumus merupakan soal HOTS karena menuntut kemampuan berpikir logis, analitis, namun situasi tersebut tidak lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula soal yang meminta peserta didik untuk menentukan kelogisan dari suatu pernyataan Matematika.
Namun bila kontekstual yang dimaksud adalah mempunyai konteks atau stimulus, maka soal HOTS adalah kontekstual. Soal HOTS yang diharapkan adalah memuat stimulus dan berkaitan dengan kehidupan dunia nyata sehingga peserta didik dapat melihat keterkaitan apa yang dipelajari dengan penerapan dalam kehidupan nyata.
Apa artinya soal sulit tapi tidak HOTS?
Soal dikatakan sulit bila hanya sedikit jumlah peserta yang dapat menjawab benar, atau proporsi peserta yang menjawab benar rendah. Suatu soal dapat menjadi sulit tetapi tidak mengukur HOTS ketika yang ditanyakan fakta yang menuntut ingatan, misalnya soal yang menanyakan ukuran atau ketinggian suatu bangun, tanggal lahir tokoh, ciri-ciri suatu benda.
Apakah soal HOTS harus menuntut penyelesaian masalah?
Tidak semua soal HOTS menuntut penyelesaian masalah. Sebagai contoh soal yang menanyakan asumsi dari pernyataan, ide pokok atau argumen, ketepatan suatu kesimpulan, tidak menuntut penyelesaian masalah.
Apa ciri soal HOTS?
Ciri soal HOTS yang baik : 1) terdapat pengantar soal/stimulus, seperti teks, grafik, tabel, sebagai bahan peserta untuk berpikir; 2) konteks atau masalah baru sehingga peserta harus mengolah/berpikir, tidak dapat menjawab hanya berdasar ingatan.
Apakah level 3 (Penalaran) sama dengan HOTS?
Level 3, Penalaran dharapkan mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan menggunakan stimulus yang kontekstual.
Apa beda soal level 2 (Aplikasi) dengan level 3 (Penalaran)?
Soal level 2 menuntut penerapan pengetahuan (faktual/konseptual/prosedural) pada situasi atau konteks yang familier; soal level 3 menuntut penerapan pengetahuan (faktual/konseptual/prosedural) pada situasi atau konteks yanng baru sehingga ingatan dan pemahaman saja tidak cukup, diperlukan proses berpikir lain yang lebih tinggi seperti analisis, evaluasi atau berpikir kreatif.
Dalam penyusunan penilaian berpikir tingkat tinggi, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1) menggunakan stimulus ; 2) menggunakan konteks yang baru; dan 3) membedakan antara tingkat kesulitan dan kompleksitas proses berpikir.
Prinsip Penyusunan Instrumen Penilaian Secara Umum
- Menentukan secara jelas apa yang akan dinilai; Dalam menyusun instrumen, tidak cukup hanya menentukan topik atau materi yang akan dinilai, perlu juga ditentukan lebih spesifik proses berpikir apa yang akan dinilai untuk materi tertentu. Sebagai contoh untuk IPA, kemampuan untuk mengelompokkan tumbuhan berdasarkan ciri-ciri hasil pengamatan/ciri-ciri yang disajikan berbeda dengan kemampuan untuk menentukan ciri-ciri tumbuhan tertentu. Pada hal yang kedua proses berpikir yang dituntut hanya mengingat ciri dari suatu tumbuhan, sedangkan pada hal yang pertama, mengingat ciri-ciri dari tumbuhan tertentu saja tidak cukup, peserta didik perlu mengidentifikasi karakteristik pada beberapa tumbuhan yang disajikan. Demikian pula pada bahasa, misalnya untuk materi puisi, perlu ditentukan apakah yang dinilai kemampuan menginterpretasi puisi ataukah menulis puisi.
- Menyusun tugas atau soal tes yang harus dikerjakan; Tugas yang dirancang hendaknya sejalan dengan materi dan proses berpikir yang akan dinilai. Sebagai contoh, jika yang akan dinilai adalah kemampuan menginterpretasi puisi, namun tugas yang diberikan meminta peserta didik mengidentifikasi rima atau menulis puisi maka tugas tersebut tidak sesuai meskipun tugas menulis puisi menuntut proses berpikir tingkat tinggi.
- Menentukan kriteria penguasaan hal yang dinilai dari hasil pelaksanan tugas atau tes. Setelah menentukan tugas, pendidik perlu menentukan bukti apa yang akan digunakan untuk menunjukkan peserta didik telah mencapai atau belum mencapai target. Dalam penilaian formatif, pendidik perlu menginterpretasi hasil kerja peserta didik dan memberikan umpan balik sejauh mana capaiannya, apa yang harus dilakukan. Dalam penilaian sumatif untuk pemberian nilai, pendidik perlu menyusun pedoman untuk menskor hasi kerja peserta didik, sehingga capaian skor memberi informasi yang bermakna.
Prinsip Penyusunan Instrumen Penilaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
- Menggunakan stimulus; Stimulus dapat berupa teks, gambar, skenario, tabel, grafik, wacana, dialog, video, atau masalah. Stimulus berfungsi sebagai media bagi peserta didik untuk berpikir. Tanpa adanya stimulus, soal cenderung menanyakan atau menilai ingatan. Stimulus yang digunakan hendaknya yang positif, dalam arti tidak menimbulkan efek negatif misalnya menyudutkan kelompok tertentu, atau memberikan penguatan untuk perilaku negatif. Bila memungkinkan stimulus yang digunakan hendaknya edukatif, memberi wawasan, pesan moral dan inspirasi kepada peserta. Sebagai contoh, teks atau grafik yang menunjukkan besarnya jumlah makanan tersisa dari suatu restoran atau dari suatu pesta dapat memberikan wawasan dan pesan kepada peserta tentang penghamburan makanan yang seharusnya tidak terjadi.
- Menggunakan konteks yang baru; Konteks yang baru yang dimaksud adalah konteks soal secara keseluruhan, dapat berupa materi atau rumusan soal. Agar dapat berfungsi sebagai alat yang mengukur berpikir tingkat tinggi, soal hendaknya tidak dapat dijawab hanya dengan mengandalkan ingatan. Bila suatu konteks soal sudah familiar karena sudah dibahas di kelas atau merupakan pengetahuan umum, dalam menjawab peserta didik tidak lagi berpikir tetapi hanya mengingat. Sebagai contoh, soal yang meminta peserta didik untuk mengkritisi karya penulis A berdasarkan aspek atau sudut pandang tertentu merupakan soal yang tampaknya mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi. Namun karena di kelas atau di buku pelajaran hal tersebut telah kerap dibahas maka sebenarnya untuk dapat menjawab soal tersebut, peserta didik tidak perlu berpikir kritis, melainkan cukup mengingat. Soal dengan konteks yang baru dan belum pernah dibahas sebelumnya, menuntut peserta didik tidak hanya menjawab dengan mengingat tetapi menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi karena mengkritisi karya tersebut.
- Membedakan tingkat kesulitan dan kompleksitas proses berpikir; Tingkat kesulitan dan proses berpikir merupakan dua hal yang berbeda. Soal yang mengukur ingatan dapat mudah dan dapat juga sulit, demikian pula soal yang mengukur berpikir tingkat tinggi juga dapat mudah dan dapat sulit, tergantung pada kompleksitas pertanyaan atau tugas.
Pertanyaan dan Jawaban Tentang HOTS
A. Konsep HOTS
Apa sebenarnya HOTS itu?
HOTS singkatan dari higher order thinking skills, diterjemahkan sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi, meskipun kalau dari makna kata, higher lebih tepat diterjemahkan sebagai lebih tinggi. Istilah HOTS dikontraskan dengan LOTS, lower order thinking skills atau keterampilan berpikir tingkat rendah.
Mengapa perlu HOTS ?
HOTS perlu dikembangkan karena berpikir pada dasarnya adalah ciri khas dan keunggulan manusia. Pendidikan yang fokus pada LOTS bukan pada HOTS akan menghasilkan peserta didik yang pasif, yang hanya pintar menghapal, meniru, tidak terampil menyelesaikan masalah, tidak kritis dan tidak kreatif.
Tanpa HOTS tidak akan ada inovasi, tidak ada peningkatan kualitas hidup manusia. Tanpa HOTS manusia akan mudah dipengaruhi, menerima informasi tanpa mengkritisi kebenarannya, mengikuti suatu ajakan tanpa alasan yang mendasar.
HOTS pada dasarnya adalah memanusiakan manusia; HOTS mengembangkan potensi diri manusia secara optimal.
Berpikir yang bagaimana yang termasuk HOTS?
HOTS mencakup berpikir yang tidak hanya sekedar mengingat dan memahami (berpikir tingkat rendah) tetapi lebih dari itu, misalnya menganalisis, mengevaluasi, menilai (melakukan judgement), mengkreasi, berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir logis, dan menyelesaikan masalah. Dalam operasionalnya jenis HOTS seringkali tumpang tindih, tidak berdiri sendiri, misalnya ketika menyelesakan masalah, seseorang juga menganalisis, berpikir logis, berpikir kritis, juga berpikir kreatif. Begitu juga ketika mengevaluasi, bentuk HOTS yang lain seperti berpikir logis dan berpikir kritis dapat terlibat.
Apakah LOTS tidak diperlukan?
LOTS tetap diperlukan karena untuk berpikir tingkat tinggi seseorang memerlukan hasil berpikir tingkat rendah. Sebagai contoh, untuk mendiganosis suatu penyakit dan treatmennya, seseorang harus mempunyai ingatan dan pemahaman tentang organ tubuh dan fungsinya serta keterkaitan atau cara kerja organ. Contoh lain, ketika seseorang melakukan penilaian atau kritik terhadap suatu karya, ia perlu memahami apa yang dimaksud karya yang baik, mengetahui ciri-cirinya. Namun mengingat dan memahami saja tidak cukup, untuk dapat melakukan kritik ia harus menganalisis karya tersebut, memilih unsur-unsur karya tersebut dan menghubungkan dengan konsep/ kriteria karya yang baik, dan melakukan judgment.
Apakah penilaian HOTS mempunyai dampak positif HOTS pada peserta didik?
Penelitian di luar negeri menunjukkan penilaian HOTS meningkatkan motivasi dan kompetensi peserta didik. Dalam pembelajaran, peserta didik yang dinilai dengan HOTS menggunakan pendekatan belajar yang menyeluruh dan bermakna, bukan hanya dengan menghapal.
B. Penilaian dan Soal HOTS
Apa ciri penilaian HOTS?
Penilaian dikatakan HOTS bila penyelesaian tugas atau soal yang diberikan kepada peserta didik menuntut mereka untuk berpikir: mengolah informasi/berpikir logis/berpikir kritis/menganalisis/berpikir kreatif, tidak hanya sekedar mengandalkan ingatan.
Apakah HOTS hanya dapat dinilai dengan soal bentuk pilihan ganda?
Penilaiaan HOTS tidak hanya dengan bentuk pilihan ganda, dapat menggunakan penilaian tertulis lain seperti essay dan isian, dan juga penilaian non tertulis (unjuk kerja).
Apakah soal HOTS pasti kontekstual?
Bila yang dimaksud kontekstual adalah situasi yang berkaitan dengan kehidupan dunia nyata, atau lazim dijumpai dalam kehidupan, soal HOTS tidak selalu kontekstual.
Sebagai contoh dalam Matematika, soal yang meminta peserta didik untuk membuktikan rumus merupakan soal HOTS karena menuntut kemampuan berpikir logis, analitis, namun situasi tersebut tidak lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula soal yang meminta peserta didik untuk menentukan kelogisan dari suatu pernyataan Matematika.
Namun bila kontekstual yang dimaksud adalah mempunyai konteks atau stimulus, maka soal HOTS adalah kontekstual. Soal HOTS yang diharapkan adalah memuat stimulus dan berkaitan dengan kehidupan dunia nyata sehingga peserta didik dapat melihat keterkaitan apa yang dipelajari dengan penerapan dalam kehidupan nyata.
Apa artinya soal sulit tapi tidak HOTS?
Soal dikatakan sulit bila hanya sedikit jumlah peserta yang dapat menjawab benar, atau proporsi peserta yang menjawab benar rendah. Suatu soal dapat menjadi sulit tetapi tidak mengukur HOTS ketika yang ditanyakan fakta yang menuntut ingatan, misalnya soal yang menanyakan ukuran atau ketinggian suatu bangun, tanggal lahir tokoh, ciri-ciri suatu benda.
Apakah soal HOTS harus menuntut penyelesaian masalah?
Tidak semua soal HOTS menuntut penyelesaian masalah. Sebagai contoh soal yang menanyakan asumsi dari pernyataan, ide pokok atau argumen, ketepatan suatu kesimpulan, tidak menuntut penyelesaian masalah.
Apa ciri soal HOTS?
Ciri soal HOTS yang baik : 1) terdapat pengantar soal/stimulus, seperti teks, grafik, tabel, sebagai bahan peserta untuk berpikir; 2) konteks atau masalah baru sehingga peserta harus mengolah/berpikir, tidak dapat menjawab hanya berdasar ingatan.
Apakah level 3 (Penalaran) sama dengan HOTS?
Level 3, Penalaran dharapkan mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi dengan menggunakan stimulus yang kontekstual.
Apa beda soal level 2 (Aplikasi) dengan level 3 (Penalaran)?
Soal level 2 menuntut penerapan pengetahuan (faktual/konseptual/prosedural) pada situasi atau konteks yang familier; soal level 3 menuntut penerapan pengetahuan (faktual/konseptual/prosedural) pada situasi atau konteks yanng baru sehingga ingatan dan pemahaman saja tidak cukup, diperlukan proses berpikir lain yang lebih tinggi seperti analisis, evaluasi atau berpikir kreatif.
Download Buku Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) SD SMP SMA SMK
Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Buku Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) SD SMP SMA ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:Download File:
Download Buku Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills).pdf
Lihat juga berkas penting lainnya terkait dengan Buku Panduan Penilaian:
- Buku Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills)
- Buku Panduan Penilaian Portofolio
- Buku Panduan Penilaian Kinerja (Performance Assessment)
- Buku Panduan / Buku Model Penilaian Karakter
- Buku Panduan Penilaian Tes Tertulis
Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Buku Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) SD SMP SMA SMK. Semoga bisa bermanfaat.