Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka

Berikut ini adalah berkas Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka. Download file format PDF.

Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka
Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0

Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka

Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka:

Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka ini diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020.


DAFTAR ISI

SAMBUTAN
KATA PENGANTAR
TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
 DAFTAR TABEL

A.PENDAHULUAN
1. Dasar Pemikiran Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi 
2. Landasan Penyusunan Kurikulum
3. Pengertian yang Digunakan dalam Panduan
4. Kaitan Kurikulum dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi
5. Dokumen Kurikulum Berdasarkan Akreditasi Program Studi

B. TAHAPAN PENYUSUNAN KURIKULUM PENDIDIKAN TINGGI 
1. Tahapan Perancangan Dokumen Kurikulum
2. Tahapan Perancangan Pembelajaran 

C. PEMBELAJARAN BERPUSAT PADA MAHASISWA
1. Bentuk dan Metode Pembelajaran
2. Pembelajaran Bauran (Blended Learning)


D. STRATEGI IMPLEMENTASI KURIKULUM DALAM PROGRAM MERDEKA BELAJAR-KAMPUS MERDEKA 73

1. Pembelajaran Daring untuk Memfasilitasi Merdeka Belajar – Kampus Merdeka
2. Pengakuan Kredit dalam Transkrip dan Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI)

E. PENJAMINAN MUTU
F. EVALUASI PROGRAM KURIKULUM 

G. PENUTUP


DAFTAR PUSTAKA
Lampiran - A: Contoh RPS Model-1 Mata Kuliah Pembelajaran Bauran (Blended Learning)
Lampiran - B: Contoh RPS Model-2 Mata kuliah Flipped Learning
Lampiran - C: Contoh RPS Model-3 Mata kuliah Pembelajaran Bauran (Blended Learning)


PENDAHULUAN

Dasar Pemikiran Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi

Perjalanan pendidikan di Indonesia tidak luput dari pengaruh perubahan zaman yang menyebabkan terjadinya pergeseran tujuan pendidikan nasional. Globalisasi yang melanda seluruh dunia di abad ke 21 menyebabkan tujuan pendidikan nasional tidak lagi hanya untuk mencerdaskan bangsa dan memerdekakan manusia namun ergeser mengarah kepada pendidikan sebagai komoditas karena lebih menekankan penguasaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS) yang bersifat pragmatis dan materialis. Hal ini tentu menjadi perhatian kita semua mengingat tujuan Pendidikan Nasional yang tercantum dalam UU No 20 Tahun 2003, Pasal 3, tidak hanya berorientasi terhadap pragmatism dan materialisme namun memiliki tujuan yang utuh untuk membentuk manusia yang memiliki iman dan taqwa (IMTAQ) serta menguasai IPTEKS. Pergeseran tujuan pendidikan nasional tersebut semakin terasa saat ini dengan terjadinya krisis karakter di bidang pendidikan, karena pragmatism dalam merespon kebutuhan pasar kerja lebih menekankan kepada hal-hal yang bersifat materialisme sehingga melupakan pengajaran dengan semangat kebangsaan, keadilan sosial, serta sifat-sifat kemanusiaan yang memiliki moral luhur sebagai warga negara.

Kurikulum merupakan nyawa dari suatu program pembelajaran sehingga keberadaannya memerlukan rancangan, pelaksanaan serta evaluasi secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman, kebutuhan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS) serta kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat, maupun pengguna lulusan perguruan tinggi. Perkembangan IPTEKS di abad ke-21 yang berlangsung secara cepat mengikuti pola logaritma, menyebabkan Standar Pendidikan Tinggi (SN-Dikti) juga mengikuti perubahan tersebut. Dalam kurun waktu enam tahun SN-Dikti telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu dari Permenristekdikti No 49 tahun 2014 diubah menjadi Permenristekdikti No 44 tahun 2015, dan terakhir diubah menjadi Permendikbud No 3 tahun 2020  seiring dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Bagi khalayak umum seringkali perubahan tersebut dipersepsikan secara keliru sebagai suatu keharusan bahwa setiap ganti menteri pendidikan, ganti pula kurikulum pendidikannya. Akan tetapi sesungguhnya perubahan kurikulum pendidikan merupakan keniscayaan sepanjang tidak bertentangan dengan filosofi pendidikan serta peraturan yang berlaku.

Berkaitan dengan masalah tersebut di atas ada baiknya kita mencoba me- nengok kembali filsafat pendidikan yang dikemukakan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantoro, bahwa hakekat pendidikan, serta strategi mencapai hasil pendidikan yang sesuai dengan budaya Indonesia. Tiga prinsip yang disebut “Trikon”, y.i. Kontinyu, Konvergen, serta Konsentris bermakna bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang berkelanjutan sepanjang hayat, memadukan antara ilmu pengetahuan yang bersumber dari dalam dan luar negeri dengan kelembutan budi pekerti yang bersumber dari budaya nasional Indonesia. Kesemuanya itu dapat dicapai jika konsep sistem “among” yang berjiwa kekeluargaan dalam pendidikan bersendikan atas dua (2) dasar, yaitu pertama kodrat alam sebagai syarat kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya; kedua kemerdekaan sebagai syarat dinamisasi kekuatan lahir dan batin peserta didik agar dapat memiliki pribadi yang kuat dari hasil berpikir serta bertindak merdeka tanpa tekanan dan hambatan dalam mengembangkan potensi dirinya. 

Prinsip yang dikemukakan ini sejalan dengan karakter yang diharapkan mengejahwantah sebagai sikap pendidik dan pemimpin yaitu: Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, dan Tut wuri handayani.

Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, mendorong semua perguruan tinggi untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan tersebut. KKNI merupakan pernyataan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang penjenjangan kualifikasinya didasarkan pada tingkat kemampuan yang dinyatakan dalam rumusan capaian pembelajaran (learning outcomes). Perguruan tinggi sebagai penghasil SDM terdidik perlu mengukur  ulusannya, apakah lulusan yang dihasilkan memiliki ‘kemampuan’ setara dengan ‘kemampuan’ (capaian pembelajaran) yang telah dirumuskan dalam jenjang kualifikasi KKNI. Sebagai kesepakatan nasional, ditetapkan lulusan Program Sarjana/Sarjana Terapan misalnya paling rendah harus memiliki “kemampuan” yang setara dengan “capaian pembelajaran” yang dirumuskan pada jenjang 6 KKNI, Magister/Magister Terapan setara jenjang 8, dan Doktor/Doktor Terapan setara jenjang 9.

Perguruan tinggi dalam menyusun atau mengembangkan kurikulum, wajib mengacu pada KKNI dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi dalam pengembangan kurikulum di era Industri 4.0 adalah menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan literasi baru meliputi literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia yang berakhlak mulia berdasarkan pemahaman keyakinan agama. 

Perguruan tinggi perlu melakukan reorientasi pengembangan kurikulum yang mampu menjawab tantangan tersebut.  Kurikulum pendidikan tinggi merupakan program untuk menghasilkan lulusan, sehingga program tersebut seharusnya menjamin agar lulusannya memiliki kualifikasi yang setara dengan kualifikasi yang disepakati dalam KKNI. Konsep yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan selama ini, dalam menyusun kurikulum dimulai dengan menetapkan profil lulusan yang dijabarkan menjadi rumusan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL). Rumusan kemampuan pada deskriptor KKNI dinyatakan dengan istilah capaian pembelajaran (terjemahan dari learning outcomes), dimana kompetensi tercakup di dalamnya atau merupakan bagian dari capaian pembelajaran (CP). Penggunaan istilah kompetensi yang digunakan dalam pendidikan tinggi (DIKTI) ditemukan pada Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang SN-DIKTI pasal 5, ayat (1), yang menyatakan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dinyatakan dalam rumusan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL).

Deskripsi capaian pembelajaran dalam KKNI, mengandung empat unsur, yaitu unsur sikap dan tata nilai, unsur kemampuan kerja, unsur penguasaan keilmuan, dan unsur kewenangan dan tanggung jawab. Sedangkan pada SN-Dikti rumusan CPL tercakup dalam salah satu standar yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Dalam SN-Dikti, CPL terdiri dari unsur sikap, keterampilan umum, keterampilan khusus, dan pengetahuan. Unsur sikap dan keterampilan umum telah dirumuskan secara rinci dan tercantum dalam lampiran SN-Dikti, sedangkan unsur keterampilan khusus dan pengetahuan harus dirumuskan oleh forum program studi sejenis yang merupakan ciri lulusan prodi tersebut. Berdasarkan CPL tersebut penyusunan kurikulum suatu program studi dapat dikembangkan. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dinyatakan bahwa penyusunan kurikulum adalah hak perguruan tinggi, tetapi selanjutnya dinyatakan harus mengacu kepada standar nasional (Pasal 35 ayat (1)). Secara garis besar kurikulum, sebagai sebuah rancangan, terdiri atas empat unsur, yakni capaian pembelajaran, bahan kajian, proses pembelajaran untuk mencapai, dan penilaian.

Perumusan CPL mengacu pada deskriptor KKNI khususnya pada bagian Pengetahuan dan Keterampilan khusus, sedangkan pada bagian Sikap dan Keterampilan Umum dapat diadopsi dari SN-Dikti. Sedangkan penyusunan kurikulum selengkapnya mengacu pada delapan (8) Standar Nasional Pendidikan, ditambah dengan 8 Standar Nasional Penelitian, dan delapan (8) Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat.

Landasan Penyusunan Kurikulum

Pengembangan kurikulum merupakan hak dan kewajiban masing-masing perguruan tinggi, namun demikian dalam pengembangan kurikulum perguruan tinggi harus berlandaskan mulai dari UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2012, Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang dituangkan dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020, serta ketentuan lain yang berlaku. Kurikulum seharusnya mampu menghantarkan mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu, serta membentuk budi pekerti luhur, sehingga dapat berkontribusi untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, kebhinekaan, mendorong semangat kepedulian kepada sesama bangsa dan ummat manusia untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan serta kejayaan bangsa Indonesia.

Penyusunan kurikulum hendaknya dilandasi dengan fondasi yang kuat, baik secara filosofis, sosiologis, psikologis, historis, maupun secara yuridis.

Landasan filosofis, memberikan pedoman secara filosofis pada tahap pe- rancangan, pelaksanaan, dan peningkatan kualitas pendidikan (Ornstein & Hunkins, 2014)1, bagaimana pengetahuan dikaji dan dipelajari agar mahasiswa memahami hakikat hidup dan memiliki kemampuan yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya baik secara individu, maupun di masyarakat.

Landasan sosiologis, memberikan landasan bagi pengembangan kurikulum sebagai perangkat pendidikan yang terdiri dari tujuan, materi, kegiatan belajar dan lingkungan belajar yang positif bagi perolehan pengalaman pembelajar yang relevan dengan perkembangan personal dan sosial pembelajar (Ornstein & Hunkins, 2014, p. 128). Kurikulum harus mampu mewariskan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya di tengah terpaan pengaruh globalisasi yang terus mengikis eksistensi kebudayaan lokal. Berkaitan dengan hal ini Ascher dan Heffron (2010) menyatakan bahwa kita perlu memahami pada kondisi seperti apa justru globalisasi memiliki dampak negatif terhadap praktik kebudayaan serta keyakinan seseorang sehingga melemahkan harkat dan martabat manusia? Lebih jauh disampaikan pula oleh mereka bahwa kita perlu mengenali aspek kebudayaan lokal untuk membentengi diri dari pengaruh globalisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Plafreyman (2007) yang menyatakan bahwa masalah kebudayaan menjadi topik hangat di kalangan civitas academica di berbagai negara dimana perguruan tinggi diharapkan mampu meramu antara kepentingan memajukan proses pembelajaran yang berorientasi kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan unsur keragaman budaya peserta didik yang dapat menghasilkan capaian pembelajaran dengan kemampuan memahami keragaman budaya di tengah masyarakat, sehingga menghasilkan jiwa toleransi serta saling pengertian terhadap hadirnya suatu keragaman. Kurikulum harus mampu melepaskan pembelajar dari kungkungan tembok pembatas budayanya sendiri (capsulation) yang kaku, dan tidak menyadari kelemahan budayanya sendiri. 

Dalam konteks kekinian peserta didik diharapkan mampu memiliki kelincahan budaya (cultural agility) yang dianggap sebagai mega kompetensi yang wajib dimiliki oleh calon profesional di abad ke-21 ini dengan penguasaan minimal tiga kompetensi yaitu, minimisasi budaya (cultural minimization, yaitu kemampuan kontrol diri dan menyesuaikan dengan standar, dalam kondisi bekerja pada tataran internasional) adaptasi budaya (cultural adaptation), serta integrasi budaya (cultural integration) (Caliguri, 2012)2. Konsep ini kiranya sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantoro dalam konsep “Tri- Kon” yang dikemukakan di atas. Landasan psikologis, memberikan landasan bagi pengembangan kurikulum, sehingga kurikulum mampu mendorong secara terus-menerus keingintahuan mahasiswa dan dapat memotivasi belajar sepanjang hayat; kurikulum yang dapat memfasilitasi mahasiswa belajar sehingga mampu menyadari peran dan fungsinya dalam lingkungannya;  kurikulum yang dapat menyebabkan mahasiswa berpikir kritis, dan berpikir tingkat dan melakukan penalaran tingkat tinggi (higher order thinking); kurikulum yang mampu mengoptimalkan pengembangan potensi mahasiswa menjadi manusia yang diinginkan (Zais, 1976, p. 200); kurikulum yang mampu memfasilitasi mahasiswa belajar menjadi manusia yang paripurna, yakni manusia yang bebas, bertanggung jawab, percaya diri, bermoral atau berakhlak mulia, mampu berkolaborasi, toleran, dan menjadi manusia yang terdidik penuh determinasi kontribusi untuk tercapainya cita-cita dalam pembukaan UUD 1945.

Landasan historis, kurikulum yang mampu memfasilitasi mahasiswa belajar sesuai dengan zamannya; kurikulum yang mampu mewariskan nilai budaya dan sejarah keemasan bangsa-bangsa masa lalu, dan mentransformasikan dalam era di mana dia sedang belajar; kurikulum yang mampu mempersiapkan mahasiswa agar dapat hidup lebih baik di abad 21, memiliki peran aktif di era industri 4.0, serta mampu membaca tanda-tanda perkembangannya.

Landasan yuridis, adalah landasan hukum yang menjadi dasar atau rujukan pada tahapan perancangan, pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi, serta sistem penjaminan mutu perguruan tinggi yang akan menjamin pelaksanaan kurikulum dan tercapainya tujuan kurikulum. Berikut adalah beberapa landasan hukum yang perlu diacu dalam penyusunan dan pelaksanaan kurikulum:
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336);
  3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI);
  4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013, tentang Penerapan KKNI Bidang Perguruan Tinggi;
  5. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi;
  6. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 59 tahun 2018, tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, Sertifikat Profesi, Gelar dan Tata Cara Penulisan Gelar di Perguruan Tinggi;
  7. Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 123 Tahun 2019 tentang Magang dan Pengakuan Satuan Kredit Semester Magang Industri untuk Program Sarjana dan Sarjana Terapan.
  8. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 3 tahun 2020, tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
  9. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 5 tahun 2020, tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi;
  10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 7 Tahun 2020 tentang Pendirian Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.
  11. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 tahun 2020, tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Landasan yuridis pengembangan kurikulum Pendidikan tinggi diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang memuat pengertian kurikulum pendidikan tinggi pada pasal 35 ayat 1 sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi. Kurikulum yang dikembangkan prodi haruslah memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan Menteri. Dalam Pasal 29 UU Pendidikan Tinggi dinyatakan acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan Pendidikan Akademik, Pendidikan Vokasi, dan Pendidikan Profesi adalah Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). KKNI telah diatur melalui Peraturan Presiden No. Tahun 2012. Pengembangan kurikulum juga mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan, pada saat ini Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang berlaku adalah Permendikbud No. 03 Tahun 2020 menggantikan Permenristekdikti No 44 tahun 2015. Gambar 1 menunjukkan rangkaian landasan hukum, kebijakan nasional dan institusional pengembangan kurikulum Pendidikan tinggi.

Standar Proses yang ada dalam SN-Dikti menjadi dasar kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka di Perguruan Tinggi. Mahasiswa mendapat kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belajar di luar program studinya dan diorientasikan untuk mendapatkan keterampilan abad 21 yang diperlukan di era Industri 4.0 antara lain komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, berpikir kreatif, juga logika komputasi dan kepedulian. Peran penting kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi juga diatur dalam Permendikbud No. 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi dan Permendikbud No. 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Perguruan tinggi memiliki visi, misi, tujuan dan strategi serta nilai nilai yang dikembangkan untuk mewujudkan keunggulan lulusannya. Karena itu pengembangan kurikulum juga selaras dengan kebijakan di Perguruan Tinggi masing-masing, sehingga lulusan setiap Perguruan Tinggi dapat memiliki keunggulan dan penciri yang membedakan dari lulusan Perguruan Tinggi lainnya.

Kaitan Kurikulum dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi 

Menurut UU No.12 Tahun 2012 Pasal 35 Kurikulum Program Studi Pendidikan Tinggi mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Selanjutnya Kurikulum pendidikan tinggi didefinisikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.

Berdasarkan pengertian tersebut perencanaan dan pengaturan kurikulum sebagai sebuah siklus kurikulum memiliki beberapa tahapan dimulai dari analisis kebutuhan, perancangan, pengembangan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut perbaikan yang dilakukan oleh program studi (Ornstein & Hunkins, 2014). Siklus kurikulum tersebut berjalan dalam rangka menghasilkan lulusan sesuai dengan capaian pembelajaran lulusan program studi yang telah ditetapkan. 

Setiap tahapan pada siklus kurikulum tersebut dilakukan dengan mengacu pada SN-Dikti yang terdiri dari delapan (8) standar yakni Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi Pembelajaran, Standar Proses Pembelajaran, Standar Penilaian Pembelajaran, Standar Dosen dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana Pembelajaran, Standar Pengelolaan, dan Standar Pembiayaan Pembelajaran. Jika ke-delapan standar tersebut dikaitkan dengan pengembangan dan pelaksanaan kurikulum.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan, pelaksanaan, evaluasi kurikulum berdasarkan SN-Dikti dinyatakan bahwasanya SKL/CPL merupakan acuan atau landasan utamanya. Dengan demikian Kurikulum Pendidikan Tinggi yang telah dikembangkan berdasarkan SN-Dikti sesungguhnya telah menggunakan pendekatan Outcome Based Education (OBE). Hal ini sangat mendukung Kurikulum. Program Studi pada saat ikut serta dalam akreditasi internasional yang berlandaskan pendekatan OBE.

    Download Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka

    Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:

    [Download] Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka.pdf

    Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 untuk Mendukung Merdeka Belajar - Kampus Merdeka. Semoga bisa bermanfaat.

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel